WARNING, GREETING.

THIS ISN'T REALLY HAPPENING. YOU'RE DREAMING. PLEASE, WAKE UP. PLEASE. WE NEED YOU NOW. EVERYTHING IS COMING TO AN END. PLEASE WAKE UP. THERE ISN'T MUCH TIME LEFT.

Sugar Song to Bitter Step

Oukaaai—untuk kalian yang masih suci dan tidak tahu kenapa bisa sampai di sini padahal niatnya mau nyanyi... Aku minta maaf, dan sebelum kalian nyasar lebih jauh, kuberitahu saja: ini bukan tentang lagu ED Kekkai Sensen, bukan berisi lirik lagunya UNISON SQUARE GARDEN full ataupun TV size, sama sekali bukan dan tidak ada hubungannya. Saia minta maaf. *dogeza*

Silahkan klik tombol 'balik' atau 'back' atau apalah itu namanya di browsermu. Aku minta kalian untuk menekannya. Sekarang. SE-KA-RANG. Nak, kesucian manusia seperti kalian diperlukan untuk menyelamatkan dunia. Dan dimensi ini terlalu absurd untuk kalian kunjungi. Tapi kalau kalian memaksakan mental dan memproklamirkan diri kalian sebagai masokis, ya... Monggo, silahkan nyelem...

Ingat, di sini gak ada ansuransi yang berlaku.

Ingat lagi, di sini bukan mau bahas ero things.

Di sini cuma ada kalimat bertele-tele yang disusun tidak sesuai EYD dan sekedar disambungkan semena-mena oleh Author gak bertanggung jawab.

Kalau kalian nyari cerita horor, keluar dari pos ini dan cari tag-nya.

Yup. Gue bawel.

Nyanyi dolo.


Ok, yeah. I'm insane.

**beeeeeeeep**

Hai. Halo. Saia kembali menormalkan diri setelah keluar dari orbit.

Kenapa saya pakai judul lagu itu sementara di sini tidak akan membahas lagu itu sama sekali?

Bcoz kalo cuma 'Bittersweet' itu udah byasa pake banget. Sekalian numpang keyword hahaks. /HEI

Ini karena aku—uhm, kami, tahun ini sudah hampir menginjak 18, dan kami juga menghadapi perang melepaskan diri dari masa sekolah. Yup. April besok gue partisipasi UN.

Bukan mau pamer kalau kami udah gede dan udah legal baca sumthin' lemon(?) /hus/

Kami cuma mau ngeluh ke internet kalau kami masih belum rela ngelepas sisi bocah kami. Yes. Dats it. Kami sama sekali gak dewasa. Mungkin cuma Haru yang agak sedikit lebih diem. Dia modelnya macam Ichimatsu Matsuno dari anime koplak jaman perang. Sisanya, para mahluk amburegul yang saling mengisi satu sama lain. /azeq/

Kami bukan tanpa alasan, menekan, mengubur, menyembunyikan sisi dewasa kami. Ya gak seutuhnya diilangin gitu nggak, cuma kami cicil aja, dimunculkan cuma pada saat-saat serius dan perlu jaga imej.

Mengutip omongan bang Felix 'Pewdiepie', “Lakukan hal bodoh sekarang sebab ketika kau bertambah tua (ketika melakukannya) kau akan mendapat masalah (karena melakukannya)"

Yes. Getting older means that you're ready for living on your own. Ready for facing this cruel world. Ready for acting as a robot. Uh, mature is boring.

Tapi, bukan berarti menjadi dewasa itu semuanya buruk. Aku hanya menyebutkan buruknya karena kami belum siap menjadi dewasa. Kau tahu, anak-anak bisa saja bertingkah sok dewasa—bertingkah lebih beretika daripada mereka yang lebih tua, bukan melakukan hal-hal rating 'dewasa'—dan melakukan segala hal menyenangkan sesuai umurnya. Mereka bebas dan tidak seorangpun yang mempermasalahkan tingkah mereka, kecuali kalau mereka benar-benar bandel dan berandal tidak tahu diri. Ini, ayolah, anak-anak bersikap kekanak-kanakan, itu sudah takdir mereka.

Berbeda dengan para orang dewasa. Mereka bisa saja bersikap kekanakan dan melakukan banyak hal bodoh, tapi, seperti kata Pewds, mereka akan mendapat masalah karenanya. Entah menjadi bahan tertawaan, bahan ejekan, menjadi aib, menimbulkan masalah bagi orang lain, atau yang lainnya. Para orang dewasa harus bisa melihat sikon sebelum menjadi seorang idiot.
Pewds :"")))

Dan... Kenapa tiba-tiba saia membahas kedewasaan? Apakah saia baru saja menginjak pubertas? Duh, saya sudah puber sejak umur 13. Saya hanya belum menginjak dewasa. Kalau menginjak ta*i, kayaknya sih sering.

Hanya saja... Menyadari kalau sebentar lagi kami melepas masa sekolah dan memulai hidup sebagai seorang mahasiswa ataupun seorang pekerja, atau bahkan NEET, itu sepertinya terlalu cepat. Kalian pasti tahu seberapa asiknya masa-masa berseragam putih-dengan-bawahan-sesuai-jenjang, masa-masa ketika jamkos curi-curi waktu ke kantin, kejar-kejaran sama guru, saling contek peer, menanti liburan, konser di depan kelas, dan bahkan main cangklok dan bola bekel. Dat moment was bloody emaizeen'.

Nah, 'kan. Mengenang masa lalu semacam ini sudah menandakan kalau kita semakin tua. Aaaah aku belum mau. Bukan tidak siap, karena siap tidak siap toh setiap hari kita bertambah tua. Bahkan saat ini pun kalian lebih tua dari beberapa detik yang lalu. Sesuai omongan mas Taka di lagunya, We never be as young as we are noow woouah~"

Dan... Masa-masa gila yang paling dikenang, menurut pendapat saia, adalah masa SMA. Kenapa? Karena kita mulai sadar, selepas dari sana kita sudah dianggap orang dewasa. Waktunya serius. Waktunya berpikir matang-matang. Waktunya menjalani hidup dengan kekuatan sendiri. Dengan begitu, kita cenderung menghemat-hemat, mencicil, menikmati menjadi seorang bocah-semi-dewasa. Kita main ini, itu, kesana, kemari, semuanya hampir diingat dan dikenang, juga dinikmati dengan sepenuh hati.

Sebagai remaja, segala aspek kehidupan kita jadi pembentuk seperti apa kita besok. Yang sehari-harinya bego dan gak aturan, berandal nakal gak tahu diri, ya gedenya gak jauh-jauh dari sifat sampah masyarakat. Yang sering macak menor ganjen sana ganjen sini, atau yang sering berburu couwoq apalagi berondong, yang sering ngikut tren segala macem, nanti juga jadinya emak-emak sosialita. Yang biasanya gak banyak keluar rumah, kuper, melakukan apa saja yang terlintas di pikiran, gak berguna bagi masyarakat bahkan dirinya sendiri, nempel di kasur dan hidup hanya dengan kompu dan wifi, palingan juga jadi NEET atau malah hikkikomori. (Saia termasuk yang ini dan doakan saja saya masih berperan di masyarakat Aamiin) /hahaks :v

Maa... Bukan berarti kami benar-benar gak berguna di sini. Hanya saja, yah, setiap orang harus mencari jati diri mereka sebelum mereka betul-betul berperan dalam masyarakat. Mereka harus tahu, apa peran mereka di dunia ini? Apa peran mereka dalam kehidupan orang lain? Dan apa peran mereka dalam kehidupan mereka sendiri? Semua skenario harus ditulis sebagai patokan, angan-angan sebagai motivasi, tujuan dan pilihan dalam hidup mereka, dan biarkan sang Sutradara Maha Agung mengoreksi dan memperbaiki plot kalian. Kalau kalian gak punya skenario, lalu apa yang harus direvisi oleh-Nya?

Mulai serius, ya? Ha-ha. Baiklaah, saya akan melompat ke topik yang lain.

Sekolah Menengah Atas. Tingkat maksimal dalam permainan wajib belajar 9 tahun. Dimana masa remaja dirasa paling asik dan terkenang. Sebagai siswa kelas 12 yang akan menjalani UN dan ujian masuk PTN, kami merasa mulai menyayangkan masa-masa ini. Kesempatan kami bersenang-sedih, kompak dalam kegoblogan, keusilan, kebaikan, saling percaya dan menganggap satu sama lain, dipuji bareng, dihukum bareng, ketawa ataupun nangis sama-sama, selama kurang dari 3 tahun. Setidaknya itu yang kurasakan di kelas kami, meskipun dalam panggung itu semua—termasuk saia—memakai topeng dalam perannya, tapi tigapuluh delapan aktor kami bermain dengan apik dan memuaskan. Aku senang.

Aku bersyukur, meskipun panggung kami minimalis dan tidak mewah, meskipun para aktornya tidak terlalu kukenal jauh sebatas nama dan penampakan, aku senang, setidaknya kami menghabiskan masa SMA kami dengan manis. Setiap kebodohan yang kompak memberi warna tersendiri. Bahkan aku mendapat beberapa kenangan pribadi yang bisa kusimpan.

Selepas dari sini, pasti semuanya berubah. Pasti itu. Tidak akan lagi seheboh saat ini, semua akan lebih mementingkan diri mereka sendiri, memamerkan kedewasaan apa yang mereka dapat dari lingkungan baru. “Lihat, aku semakin menawan, bukan?" Dan semakin lama, jarak itu akan melebar, menjauh, hingga menjadi jurang kecanggungan yang memutus ikatan persaudaraan kita dulu. Itu sudah biasa. Dan kita harus terbiasa.

Pahit? Memang. Manis? Juga iya. Namanya juga remaja menjadi dewasa. Tapi mumpung kita masih terikat dalam satu panggung, mari nikmati saja dan ukir cerita untuk dikenang saat dewasa nanti. :)


Sukses, guys!
Hugs,
-H

Intip Sekalian!

Hari Pertama Sekolah

Mad Father