WARNING, GREETING.

THIS ISN'T REALLY HAPPENING. YOU'RE DREAMING. PLEASE, WAKE UP. PLEASE. WE NEED YOU NOW. EVERYTHING IS COMING TO AN END. PLEASE WAKE UP. THERE ISN'T MUCH TIME LEFT.

Dreamcatcher

Anak itu kembali ke tempatnya sore ini. Menatap laut di bawahnya bergejolak lembut seirama ayunan kakinya. Selalu seperti itu, dan sudah seperti itu sejak pertama aku di sini.

Tak pernah kulihat ia menerawang lurus, padahal di hadapnya laut tak terbatas menampilkan cakrawala bagai panggung berkilauan dengan sunset sebagai pusatnya. Ia lebih tertarik menekuri gelombang pasang yang perlahan menelan kaki tonggak lebih tinggi.

Diantara anak-anak yang lain, dia satu-satunya yang tidak akan memulai obrolan ataupun sekedar ‘halo’ saat kau datang. Dia juga hampir tak pernah membuat kontak mata dengan semuanya. Dia hanya hadir, diam, lalu pergi seakan dia entitas yang tidak nyata. Beberapa kali kulihat seorang tua yang tertatih membawa glangsing perlahan menghampirinya, dan sebelum pria baya itu setengah jalan, anak itu lebih dulu mencapainya dan menuntunnya pergi. Anak laki-laki itu akan kembali ada keesokan harinya dan siklus terulang lagi.

Tiga hari ini tidak kulihat pria tua penuh uban itu. Sedangkan bocah itu makin hari makin suram saja. Hingga sampailah padaku berita duka biang keladi abu-abu ini. Yah... dasarmya nasib sudah ada yang mengatur. Aku juga tidak kuasa apa-apa.

Sering kucuri pandang ketika jeda di antara goresan kapur, mengamati tindak tanduknya dari sisiku. Tidak ada yang berarti, malah bisa dikatakan tidak ada yang berubah. Di ujung dermaga, meremas teralis batas, duduk mematung dengan kaki berayun. Kepalanya layu. Mata tak hidupnya memohon bisu pada batu-batu berlumut yang tenggelam oleh pasang. Meski tak ada yang memberitahu, namun kusadar retak jiwanya melebar tiap ombak menghantam dermaga.

Aku membereskan buku-bukuku setelah memberikan salam pada murid-muridku. Menjadi pengajar bebas yang tidak berpenghasilan hanya kujadikan pembunuh kebosanan. Awalnya. Namun bocah laki-laki yang telah hidup selama kurang lebih sembilan tahun itu memberiku alasan lain. Penasaran. Dia begitu misterius. Angkuh dan tak acuh, juga sedih dan ringkih. Tegar meski bergetar, jeritan sepinya tertelan ke dasar lautan, pecah terhantam batuan cadas. Waktu tak lagi berjalan baginya. Sosoknya telah ditinggalkan oleh sang waktu itu sendiri. Dia kelabu dan tersisihkan. Kesan yang kudapat tiap kali menatap punggungnya.

Gadis kecil itu menjadi yang terakhir meninggalkan kami berdua. Sudah petang, dan angin laut semakun gencar membombardir daratan. Aku merapatkan jaketku, sedikit ragu melihatnya yang hanya berbalut oblong kusam. Perlahan kudekati ia.

“Kau tidak pulang?” Sesantun mungkin kucoba agar tak berkesan seperti mengusir. Angin laut menerbangkan kalimatku. Tapi kutahu, kalimat itu sampai padanya. Kuambil tempat tepat di sampingnya dan melirik. Menakjubkan aku ada di sini, melihat bocah laki-laki di sampingku yang tampak seperti zombie. Zombie yang sedih. Zombie yang patah asa.

“Anginnya mulai keras. Apa kau membawa mantel? Aku bisa meminjamkan punyaku, kalau kau mau,” Aku sedikit menunduk padanya. Dia hilang dalam pikirannya yang kosong. Mayat hidup.
Aku terus bermonolog tentang remah-remah kehidupan yang tak penting didengar, hanya untuk memecah hening keributan angin laut. Berbanding antonim dengan sosok membatu di tempat yang sama. Raganya tak peduli, jiwanya minta tolong tanpa henti. Kakinya berayun terulur seakan pendulum, hanya tanda bahwa dia masih bagian dari dunia.

“Jadi,”

Aku menarik napas sebelum mengatakannya.

“Bisakah aku menolongmu dengan sesuatu?”

Berhenti.

Kaki pendulum itu berhenti.

Angin muson yang menggila juga berhenti.

Waktuku pun ikut berhenti.

Aku tidak tahu seberapa kuat efek kehadirannya padaku. Ini seperti jempol seseorang baru saja memencet tombol pause. Kata-kataku barusan seperti jampi untuk masuk ke dimensi bocah ini, dan sekarang aku terjebak sejak mengambil langkah pertama.

Aku masih terpaku. Waktu masih membeku.  Namun kali ini, atmosfirnya melunak. Anak itu menggerakkan kepalanya kurang dari sedetik, semakin dalam menunduk. Tersirat pedih menggantikan ketegangan.

Tubuh anak itu bergetar. Dia menangis, kering dan hening. Kulihat teriakannya melebur dengan O2 dan ikur terhirup olehku, memenuhi pulmo, mampat kemudian meledak. Tanpa ia membuka mulut, aku seperti sudah mendengar semua keluhannya, kupertimbangkan kemungkinan dia seorang esper.
Berkedip, kucoba mengembalikan warna dunianya. Setidaknya iya bagi inderaku. Setelah memantapkan niat, kutepuk sayang pundaknya.

“Hora, lihat,” Kutuduh cakrawala jingga yang manis, “Cantik, bukan?”

Mata sendu itu menerawang penuh ketidak tertarikan. Aku mencoba membuatnya menerima cahaya hangat mentari terbenam. “Kau tahu...”

Aku tersenyum. “Dia indah, namun jauh, seberapa banyakpun kau mendayung. Mesti kau tak dapat meraihnya... Dia selalu dapat meraihmu. Hangatnya selalu dapat kau rasakan.”

Jangan...

“Begitulah mimpi mengimpikan sesuatu bukanlah sebuah dosa. Sebaliknya, impian membuat hidupmu memiliki tujuan. Mimpi membuat semuanya menjadi manis. Tapi hati-hati, beberapa mimpi itu menjebak dan menghancurkan.”

Jangan patah harapan...

“Milikilah mimpi yang seperti mentari. Cobalah sekuat tenaga agar mataharimu teraih di antara jari-jarimu. Mantapkan pasak niatmu menembus lapisan bumi hingga meremukkan inti. Lalu dayung rakitmu hingga patah pergelanganmu. Aku yakin, perngorbanan itu tidak akan sia-sia. Selalu ada tempat terindah bagi kalian. Hanya satu kata; percayalah.”

Mimpimu terlalu berharga untuk itu...

“Kujanjikan satu hal. Aku akan terus membantumu sampai paru-paru ini menolak oksigen.”

Aku tidak akan membiarkan mimpimu kandas tak bersisa.

Terlintas kilau ombak di maniknya. Kedua orb kecoklatan itu membias sunset keemasan. Hatiku ikut mengembang, menyadari waktu telah kembali berdetak dalam jantung bocah ini. Meski kami menggigil karena angin petang, kami sama-sama merasakan hangat yang nyaman sebab faktor yang lain.

Mataku terpejam syahdu mendalami perasaan damai yang mengembalikan gradasi pelangi dalam dimensi. Telepati mengatakan terima kasih yang manis. Aku mengangguk, mendesah lega, dan kubuka mataku.

Pukul tujuh di pagi hari. Bias cahaya pagi menerobos celah genting tanah liat menyapa retina. Sesekali kugosok hidungku yang dingin dan mampet karena alergi suiu yang rendah. Kulirik catatan di samping kasur, masih dengan kesadaran yang berserakan, kuraih pena dan berusaha mengingat.

Apa bunga tidur yang barusan tadi?


Plaosan, Juillet 20, ’15.
—Wasakhowatin

Intip Sekalian!

Hari Pertama Sekolah

Mad Father