WARNING, GREETING.

THIS ISN'T REALLY HAPPENING. YOU'RE DREAMING. PLEASE, WAKE UP. PLEASE. WE NEED YOU NOW. EVERYTHING IS COMING TO AN END. PLEASE WAKE UP. THERE ISN'T MUCH TIME LEFT.

Tanah

"Well, halo pria kecil." Aku berlutut di sisinya. "Namaku Suzie. Kalau namamu?"

"Aku Aiden!" Klaimnya bangga.

"Nama yang bagus, Aiden. Maukah kamu main denganku?"

"Ok."

"Aku tahu permainan asik. Tapi kamu gak boleh bilang siapa-siapa, ini rahasia. Kamu bisa jaga rahasia?"

"Ya!"

"Oke, sekarang ikut aku dan akan kuajak kamu ke tempatnya. Aku yang setir mobilnya."

Kutuntun si anak ke mobilku, dan ia mengikat dirinya sendiri di kursi belakang. Dengan semangat mahluk itu bertanya selagi aku menyetir.

"Kemana kita pergi?"

"Ke hutan. Kita akan main bersama anak-anak lain di sana."

"Apa nama permainannya?"

"Tanah."

...

Kuhentikan mobil di sebuah setapak tanah tua, di hadapan jalan yang terlalu sempit untuk dilalui mobil.

"Kita harus jalan dari dini, mobilnya gak muat melewati pepohonan. Tak jauh, kok."

Mahluk itu berjalan melompat di sampingku sepanjang sisa perjalanan. Kemudian kami sampai di lokasi, tanah luas tanpa rumput dikelilingi pepohonan lebat. Tak jauh dari salah satu di antara barisan pepohonan yang menjulang menghalangi langit, terpampang sebuah lubang dangkal, hanya sedalam dua kaki, di sebelahnya ada setumpuk tanah yang seharusnya mengisi lubang itu.

"Di sini. Kita bisa main sekarang."

"Bagaimana mainnya?"

"Kamu sembunyi di lubang itu dan menghitung sampai sepuluh. Nanti anak yang lain akan bergabung denganmu."

Mahluk itu dengan tegang turun ke lubang, memastikan agar tidak jatuh. Ia menutupi matanya dan mulai menghitung.

"Satu. Dua. Tiga..."

Kumelangkah mendekati lubang, meletakkan tanganku di atas kepalanya dan mulai mendorongnya jatuh. Ia terjerembab seraya menjerit, menggores dirinya sendiri pada permukaan lemah padat. Kutekan tanganku di atas dadanya, menguncinya. Ia berteriak, tapi kami terlalu jauh untuk bisa terdengar siapapun. Semakin kutekan dia ke tanah saat ia menggelinjang, melawan, tapi semua usahanya tak berguna.

Kuraih sekop kecil dengan tanganku yang bebas, menumpukan beratku pada tubuhnya. Kugunakan sekop untuk mengembalikan tumpukan tanah ke lubangnya. Pertama-tama kututup kakinya dulu, untuk membuatnya tak sanggup melarikan diri. Kupadatkan tanahnya dengan sekop, memastikan semua tertutupi dengan sempurna. Dan ini sempurna. Bagus. Kau tak akan menginginkan lubang yang terlalu dangkal, atau tanahnya tidak akan cukup berat untuk menahan anak itu di dalam. Terlalu dalam, dan lenganmu tak akan sanggup meraih tanah untuk mengubur si anak. Cuma sedalam dua kaki akan sempurna.

Aku mulai bekerja di sekitaran lubang juga, mengubur dadanya terakhir kali agar aku bisa melepas tanganku. Aku berdendang seraya menyerok tanah ke dalam lubang. Setelah beberapa menit bekerja, teriakannya mulai teredam ketika wajahnya tertutup tanah. Tak lama kemudian suasana jadi benar-benar hening.

Lengannya masih terangkat di permukaan, melambai-lambai kasar, tapi tidak bebas. Meski tidak sepenuhnya tertutup, mahluk itu tak akan bisa melepaskan diri. Tanah jauh lebih berat dari kelihatannya. Aku bangkit dan menggunakan sekop yang lrbih besar untuk mengisi celah yang tersisa. Dada si anak telah tertutup sempurna, kemudian lengan yang menyembul itu menjadi semakin pendek. Sedikit demi sedikit ia tertutupi, dan sedikit demi sedikit lubang terisi. Kugunakan sekop untuk memukul permukaannya, memastikan tanahnya padat. Memang padat. Bagus. Tak ada yang lebih melegakan selain mengetahui pekerjaanmu selesai.

Mereka biasanya tak akan bertahan lama di dalam tanah, jadi dia pasti sudah kesulitan di bawah sana. Kukumpulkan peralatanku, dan mulai kembali ke mobil, melewati lubang-lubang yang tertutup rapi di tanah.

Intip Sekalian!

Masuki Dunia Penderita Skizofrenia Melalui Karya Seni

Mad Father