WARNING, GREETING.

THIS ISN'T REALLY HAPPENING. YOU'RE DREAMING. PLEASE, WAKE UP. PLEASE. WE NEED YOU NOW. EVERYTHING IS COMING TO AN END. PLEASE WAKE UP. THERE ISN'T MUCH TIME LEFT.

Gambaran Lama

Apa yang kulakukan di sini?

Aku lupa alasan apa yang membawaku, tetapi aku tahu aku sudah lama berdiam diri di sini. Suara klik dalam kepalaku yang membuatku mengongak, tersadar, ada lensa kecil terarah padaku. Mata kami bertemu. Sepertinya si pelaku ikut terkejut.

Kukerjapkan mata, masih terkunci padanya. Sepertinya ia tak tahu apa yang harus dilakukan—ia buang ponselnya begitu saja. Kuhampiri ia yang melempar pandangan, kurasa ia tidak berbahaya.

---

Apa yang kulakukan di sini?

Aku lupa bagaimana awalnya, tapi aku tahu aku sudah lama melakukannya. Suara klik di hadapan membuatku terhentak, tersadar, aku menangkap potret seseorang sembarangan. Mata kami bertemu. Sepertinya ia juga terkejut.

Kukerjapkan mata, masih membatu dengan kamera. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan—kubuang ponselku begitu saja. Ia menghampiri dan kulempar pandangan, kurasa dia berbahaya.

---

Apa yang kaulakukan di sini?

Kau mengambil benda persegi yang tergeletak, tak diacuhkan, tak jauh dari pemiliknya di rerumputan. Dia berpura-pura tidak di sana, duduk diam berpangku tangan, melirik menjauhimu.

“Hei, hari yang indah untuk mengambil gambar," Ucapmu ramah, berusaha membuat sosok baik. Dia mendengung, masih berpaling. Seharusnya ini membuatmu gugup, canggung, tapi entah percaya diri dari mana yang merasukimu. Kau mencoba sekali lagi.

“Kau merusak ponselmu,"

Dia menghela napas. Kau mendengarkan.

“Aku merusak banyak hal."

Oh.

---

Apa yang kaulakukan di sini?

Dia mengambil benda persegi yang tergeletak, tak kauacuhkan, tak jauh darimu di rerumputan. Kau berpura-pura dia tidak di sana, berpangku tangan, melirik menjauhinya.

“Hei, hari yang cerah untuk mengambil gambar," Ucapnya ramah, berusaha membuat sosok baik. Kau mendengung, masih berpaling. Seharusnya ini membuatnya gugup, tapi entah kenapa dia penuh percaya diri. Dia mencoba sekali lagi.

“Kau merusak ponselmu,"

Kauhela napas. Dia mendengarkan.

“Aku merusak banyak hal."

Ah.

---

Apa yang kulakukan di sini?

“Apa kau sedang ada masalah?"

Seharusnya aku berhenti mengendus masalah orang. Wajahmu tampak sedikit terganggu. Bodohnya aku. Kenapa aku malah bertanya? Mungkinkah itu hanya sebersit sarkasme? Kenapa aku tidak diam saja dan meninggalkanmu? Toh kita tidak ada apa-apa.

Dan balasan darimu sangat manusiawi.

“Aku gak kenal kamu."

---

Apa yang kulakukan di sini?

“Apa kau sedang ada masalah?"

Seharusnya kau berhenti mengendus masalah orang. Aku sedikit terganggu. Bodohnya kau. Kenapa kau malah bertanya? Tidak pahamkah kau pada sarkasme? Kenapa kau tidak diam saja dan meninggalkanku? Toh kita tidak ada apa-apa.

Kucoba membalas dengan cukup manusiawi.

“Aku gak kenal kamu."

---

Apa yang mereka lakukan di sini?

Pria itu berjongkok di depannya, mengayun-ayun persegi hitam yang ia buang. Wanita itu tetap tidak tertarik, wajah tanpa polesan itu terpelintir—segaris benci, sesal, malu, dan sebal tergambar berantakan. Kontras dari kalimat yang diucapkannya, sepertinya dia ingin segera mengakhiri sesi percakapan dengan pria asing itu.

“Aku gak kenal kamu."

“Tapi kamu ambil fotoku." Balasnya cepat. Senyum miring terungkit di wajahnya. “Stalker, eh?"

Kata itu menyengatnya. Merah merambati tulang pipinya. Malu. Dingin ia mendengus, “Gak sengaja."

Pria itu bergumam tak acuh, menyentuh, memainkan layar datar yang bereaksi. Si wanita juga sama tak pedulinya. Entah mau apa dia dengan ponselnya, mungkin menghapus gambar yang baru saja ia dapat secara ilegal, biarkan saja. Toh juga tak ada yang mau ia sembunyikan dari tiap konten yang ada. Dia sejenis yang tak suka menyimpan data diri dalam benda elektronik portabel.

---

Sekali lagi; Apa yang kulalukan di sini?

Dia mengotak-atik ponselku, asik sendiri, tanpa repot meminta izinku. Aku masih menolak memperhatikannya. Dia tersenyum puas, “Sepertinya memang bukan penguntit, huh."

Memutar bola mata, aku mengeluh. “Tak ada gunanya berbohong padamu tentang itu."

Dia manggut-manggut seperti mainan dasbor, masih fokus dengan ponsel yang bukan miliknya. Aku tak begitu keberatan, tapi entah aku merasa sebal.

Terserahlah, yang jelas aku tak menggaransi atas apa yang mungkin akan dia temukan di dalam sana.

---

Sekali lagi; Apa yang kulalukan di sini?

Aku mengotak-atik ponselnya, asik sendiri, tanpa meminta izin darinya. Dia masih menolak memperhatikanku. Aku tersenyum puas, “Sepertinya memang bukan penguntit, huh."

Kulihat bola matanya berputar, ia mengeluh. “Tak ada gunanya berbohong padamu tentang itu."

Aku manggut-manggut seolah paham, masih fokus dengan ponsel yang bukan milikku. Dia sepertinya keberatan, tapi tak menghalangiku.

Terserahlah, yang jelas aku tak menggaransi atas apa yang mungkin akan aku lakukan dengan propertinya.

---

Sekali lagi; Apa yang kaulalukan di sini?

“Jadi kau mau ceritakan masalahmu padaku?"

Dia masih mencoba memancingmu, tetapi kau benar-benar tak memperdulikannya. Pertanyaannya hanya kaukembalikan, “Siapa kamu, sekali lagi?"

Dia menghela napas, lelah, namun tak ingin mengakhiri. Dia kembalikan barangmu dan beranjak, meninggalkanmu, menunggumu, menyebut namamu.

“Nanti kau akan tahu sendiri,"

Dia tinggalkan sesuatu dalam ponselmu; kontak pribadinya.

---

Sekali lagi; Apa yang kaulalukan di sini?

“Jadi kau mau ceritakan masalahmu padaku?"

Kau masih mencoba memancingnya, tetapi dia benar-benar tak memperdulikanmu. Pertanyaanmu hanya dikembalikan, “Siapa kamu, sekali lagi?"

Kau menghela napas, lelah, namun tak ingin mengakhiri. Kaukembalikan barangnya dan beranjak, meninggalkannya, menunggunya, kausebut namanya.

“Nanti kau akan tahu sendiri,"

Kau meninggalkan sesuatu dalam ponselnya; kontak pribadimu.

---

Sekali lagi; apa yang kalian lakukan di sini?

Kau memeriksa layar ponsel dengan malas, melirik tak berminat pada apa yang terpampang. Kontak pria yang berjalan memunggungimu tertulis dan tersimpan, hadir secara ilegal, lengkap beserta foto yang kaudapat secara ilegal. Kau menghapus jejaknya, menyesalkan waktumu, berniat tak akan melakukan sesi temu lain kali.

Kaubuka case ponsel dan kauambil kartu perdana, kaubelah jadi dua, dan kaulemparkan sejauh yang kaubisa. Batin mengeluh.

Kau benci manusia.

Sementara kau memeriksa layar ponsel dengan ceria, menatap semangat pada apa yang terpampang. Kontak wanita yang kautinggalkan tertulis dan tersimpan, hadir secara ilegal, lengkap beserta foto yang kauterima secara ilegal. Kaucadangkan jejaknya, menghargai waktumu, berniat akan menciptakan sesi temu lain kali.

Kaubuka case ponsel dan kauambil selembar foto lama, terawat apik, dan kausayang sebaik yang kau bisa. Batin melagu.

Kau cinta manusia.

********************************************

Dalam gema ruang lenggang,
02 Maret '17
Hayy Mutnik

Intip Sekalian!

Hari Pertama Sekolah

Mad Father