WARNING, GREETING.

THIS ISN'T REALLY HAPPENING. YOU'RE DREAMING. PLEASE, WAKE UP. PLEASE. WE NEED YOU NOW. EVERYTHING IS COMING TO AN END. PLEASE WAKE UP. THERE ISN'T MUCH TIME LEFT.

[NSFW] Cuma Jerawat

Memecah jerawat sudah menjadi rutinitas pagiku. Semua orang berkata padaku kalau aku tidak boleh melakukannya, itu hanya akan memperparah saja, tapi aku tidak bisa menahannya. Rasanya menyenangkan dan lega, apalagi kalau jerawatnya besar.

Sekitar dua minggu lalu, aku memeriksa wajahku sebelum membasuhnya, melakukan kebiasaanku, dan aku menemukan satu jerawat besar, tepat di sebelah hidungku. Aku agak terkejut karena tidak melihatnya tadi malam, tapi gak masalah. Aku menekankan jari di sekitarnya sambil memelototi cermin sementara komedo putih mencuat keluar, hampir seperti hidup. Ini yang kesekian kalinya. Kubilas tanganku, mencuci wajahku dan bersiap menuju ke sekolah.

Setelah siang, aku mulai merasakan tekanan dari jerawat di samping hidungku. Sepulang sekolah, aku bergegas ke kamar mandi dan memeriksa wajahku. Tiga butir jerawat komedo balas menatapku, tepat di sekeliling bekas jerawat besar tadi pagi. Kupecahkan semuanya. Satu per satu isinya muncul keluar. Sesaat kurasa salah satunya ada yang bergerak, tapi itu tidak mungkin.

Esok paginya, seluruh hidung dan pipi sebelah kananku gatal ketika aku bangun dari kasur. Di cermin kamar mandi, aku melihat, pemandangan horor, delapan jerawat putih mencuat di sekitar bekas jerawat yang baru kemarin kupecah. Kubasmi semuanya. Perasaan lega yang selalu kurasa tidak hadir seperti biasanya. Kuputuskan untuk mencari sabun atau krim jerawat di perjalanan nanti, berharap bisa menyelesaikan masalah ini. Aku belum pernah menggunakannya, tapi memang, aku tidak pernah mendapatkan masalah merepotkan sebelumnya.

Jam makan siang, aku merasakan gatal yang akrab di hidung sebelah kananku. Ketika pulang, sudah ada 12 bintik yang menungguku. Aku memijitnya satu-satu. Mereka mencuat keluar, lebih panjang dari komedo jerawat yang biasa kupecahkan. Segera setelah membersihkan jerawatnya, kubasuh mukaku dan mencoba krim yang baru kubeli, berharap krim itu akan bekerja.

Paginya, aku tahu bahwa krimnya tidak bekerja. Aku menatap sedih pada cermin dan menghitung bintik-bintik yang muncul dalam semalam. Lima belas. Saat komedo putih mencuat dari dalamnya, aku yakin melihat salah satunya bergerak.

Sudah siang dan lagi-lagi gatal. Aku sudah berniat mengajak Mama untuk membawaku ke dokter. Aku mengecek di cermin dan menemukan duapuluh bintik putih kecil, menyebar dari hidung ke pipi kananku. Aku tidak memecah mereka, meskipun aku sangat ingin melakukannya. Aku perlu sesuatu untuk ditunjukkan pada dokter.

Setelah memasuki klinik, kujelaskan pada dpkter apa yang telah terjadi. Dia memeriksa wajahku dan menuliskan resep krim antibiotik untuk wajah. Mamaku menebusnya di apotek dan kami pulang.
Aku bergegas ke kamar mandi dan memenceti semuanya. Rasanya komedo putihnya lebih panjang dari biasanya dan aku tahu faktanya beberapa dari mereka ada yang bergerak. Kubasuh wajahku dan mengoleskan krimnya, berharap itu manjur.

Paginya, ada harapan. Wajahku masih gatal, tapi tidak separah kemarin sore. Ketika kulihat di cermin, hanya ada tujuh belas jerawat komedo. Kupecahkan semuanya dan bergegas ke sekolah.
Sore hari, ketika melihat ke cermin, aku merinding. Cuma tiga belas bintik, tapi mereka tidak lagi kecil. Semuanya besar, seukuran jerawat standar. Kupecahkan semuanya dan kotoran yang keluar cukup panjang, seinchi, dan aku tahu mereka bergerak saat mereka sudah lepas dari kulitku. Dibanding bekas komedo yang menutup lagi, kali ini meninggalkan lubang di pori-pori. Tiga bzlas lubang menganga di pipiku. Aku menangis.

Jumlahnya kembali lagi saat pagi. Delapan belas. Besar lagi, beberapa muncul di bekas yang kemarin, beberapa di tempat baru. Aku ke sekolah dengan duapuluh lima lubang di wajah. Kuharap aku seorang cewek jadi bisa menyembunyikannya di balik make up.

Usai sekolah aku menemukan kembali dua puluh bintik putih. Aku mulai memencet semuanya. Yang pertama mencuat keluar dari lubang pori ke kuku jariku. Ukurannya satu setengah inchi. Aku sudah akan menyiramnya saat kulihat komedo itu bergeliat, merayap di atas kukuku. Aku ketakutan menyaksikan komedo itu menemukan jalan di tepi kukuku dan menggeliat masuk ke dalam pori.
Aku tidak tahu harus apa. Aku membeku di tempat di depan cermin. Saat tersadar, aku tahu aku harus segera menemui dokter. Sekarang.

Mamaku tidak akan pulang sampai beberapa jam ke depan, tapi rumah sakit hanya perjalanan singkat dengan sepeda. Aku meninggalkan catatan di meja dan berkendara secepat yang kubisa.

Saat check in, perawat bertanya tentang keluhanku. Kucoba menjelaskan padanya, dan dia hanya menggelengkan kepala. Setelah menunggu sebentar, perawat lain datang dan membawaku. Kami melewati kamar ER yang kupikir seharusnya jadi tempat periksaku, terus melewati beberapa lorong dan pintu-pintu berkunci. Saat memasukinya, aku seketika tahu dimana ini: kamar psikis.

Mereka tidak percaya. Kuberitahu lagi dan lagi, tapi mereka tidak percaya padaku. Aku mencoba menunjukkan mereka bukti tapi mereka bilang aku cuma menyakiti diri sendiri. Mereka memergokiku di kamar mandi memenceti jerawat dan membilas mahluk putih itu di wastafel secepat yang kubisa dan mereka membawaku untuk diikat di ranjang. Mereka memaksaku untuk menerima pengobatan, berkata bahwa aku berhalusinasi, bahwa aku cuma mendapat jerawat yang parah.

Aku menghabiskan semalam penuh terikat di ranjang. Saat pagi, aku berjanji tidak menyakiti diriku lagi dan mereka melepaskan ikatanku. Mereka membuatku mendapat pengobatan lagi. Aku tidak tahu apa lagi yang bisa kuperbuat, aku ingin pulang ke rumah. Aku menangis.

Aku menghabiskan 2 hari lagi di bilik psikis sebelum Mama datang dan diperbolehkan membawaku pulang. Aku bisa melihat kecemasan di wajahnya. Sesampainya di rumah, aku memeriksa di cermin. Jerawat di wajahku telah berlipat ganda. Ada sangat banyak sekali sampai aku tak bisa menghitungnya. Aku juga mendapati beberapa muncul di jariku tempat dimana mereka masuk lewat kukuku. Memencet semuanya tidak akan menghasilkan apa-apa, aku tahu. Perawatan drastis harus segera dilakukan.

Jadi, di sinilah aku. Mama sedang bekerja, pisau lipatku juga sudah siap, dan sekarang setelah kuceritakan kisahku, aku akan membuang semuanya sekaligus.

'

Intip Sekalian!

Hari Pertama Sekolah

Mad Father