WARNING, GREETING.

THIS ISN'T REALLY HAPPENING. YOU'RE DREAMING. PLEASE, WAKE UP. PLEASE. WE NEED YOU NOW. EVERYTHING IS COMING TO AN END. PLEASE WAKE UP. THERE ISN'T MUCH TIME LEFT.

Tale of Jerawat Batu

Pagi ini gue meringis-ringis depan cermin sambil menjalankan ritual singkat manusia muda:
Mitesin jerawat.

Wuh! Sakitnya bok asoy similikiti ahay~

Entahlah. Meski hapal berupa-rupa artikel tentang larangan mencet jerawat, tapi gue tetep aja sering ngelakuinnya. Bukan apa—gue termasuk jarang punya jerawat gede. Bahkan frekuensi tumbuh jerawat gue masih kalah sering sama sariawan gue. Yah kita anggap aja sariawan adalah jerawat dalam, karena dia tumbuhnya di dalam pipi. Tapi sakitnya aduhai bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelip mulut komat-kamit.

Oke, stop. Kita gak lagi bahas sariawan, saribulan, saribintang, ataupun saritebu. Kita bahas jerawat. JERAWAT. JERAWAT. Woooo... Horor, 'kan? Horor emang.

Gue giat banget mites jerawat bergenus batu. Itu yang isinya lebih padet, lebih keras, dan lebih kejam daripada jerawat nasi. Hobi tumbuh di lapisan epidermis muka, khususnya yang berminyak.

Jerawat batu kalo dipecahin selalu berbekas. Itu nyebelin. Bikin ketahuan kalo kita barusan berkutat dengan kotoran. Sifatnya permanen lagi. Menodai kepolosan tampang gue aje.

Jerawat batu yang pernah gue kenal dan paling ngeselin diantara semua mantan-jerawat-batu-gue adalah dia yang singgah di hidung gue. Bukan di pangkal hidung seperti jerawat umumnya, dia tumbuh di bagian dalam hidung gue. Asem banget. Sebenernya gak jauh di dalam hidung gue, tapi masih di daerah ‘mulut goa' hidung gue. Jadi masih terekspos khalayak umum.

Di awal-awal hadirnya, rasanya nyeri biasa ala jerawat baru. Gue nyoba buat segera mencet tuh jerawat biar cepat hilang, tapi gak mau pecah. Jadi gue biarin selama beberapa hari. Karena gue biarin tumbuh, dia jadi makin liar. Dia tumbuh jadi agak gedean dikit. Nyeri oi. Gue akhirnya nyoba mites dia lagi. Dan masih gak berhasil meski sampe berdarah-darah. Perjuangannya cukup besar.

Beberapa hari, gue udah mulai terbiasa. Rasanya juga udah gak sakit. Jadi gue biarin dia bersemayam di hidung gue. Sampe jalan beberapa bulan, dan datanglah hari itu.

Hari dimana perpisahan hubungan kulit dan kotoran.
Hari dimana dua jari maut menekan kulit dengan semangat patriotisme.
Hari dimana manusia ngeden-ngeden menahan nyeri di satu titik.
Hari dimana akhir riwayat dari sebuah jerawat batu.

Ya. Di hari itu, kekesalan gue akan si jerawat ini sudah bertumpuk. Semua emosi gue disebabkan karena dia menghalangi akses gue buat ngupil. Kesalahan dia yang tumbuh di tempat se-strategis itu.

Dengan niat karena Allah Ta'ala, ikat kepala putih rapat di jidat, muka yang klimis habis disabun, mata yang fokus di satu titik, dan jari tangan yang sudah siap eksekusi, gue memulai ritual keramat itu. Gue berkutat dengan dramatis. Setelah lima menit mengerahkan tenaga dalam akhirnya selesai sudah masa-masa tegang itu.

Jerawat sudah wafat.

Tapi, satu wasiatnya:
Mati satu tumbuh seribu, bukan cuma manusia yang bisa. MWAHAHAHA~

Intip Sekalian!

Hari Pertama Sekolah

Mad Father