Trip To Alabama
Ini terjadi sekitar 6 tahun yang lalu,
yang mana aku berumur sekitar 12 tahun dan kakak laki-lakiku berumur 26 tahun
saat itu. Kakakku telah menjadi prajurit di Angkatan Darat selama beberapa
tahun, juga telah mendapat Baret Hijau dan telah menyelesaikan Army Special Forces Qualification Course.
Pastinya dia adalah orang yang tidak ingin kau ajak mencari gara-gara.
Dengan latar belakang seperti itu kami
berdua tumbuh dengan minat pada kegiatan outdoor.
Dia pikir akan menyenangkan untuk mengajakku backpacking ke daerah Alabama ketika aku mendapat liburan dan
sebelum kakakku pergi tugas selama 9 bulan.
Perjalanan itu berjalan lancar sampai
pada malam ketiga camping kami.
Sekitar pukul 8 malam kami telah menyiapkan tenda dan kelengkapan berkemah
kami, memakan hidangan malam dan kami duduk di depan api unggun seraya
membicarakan hal-hal yang biasa laki-laki bahas—senjata, cewek, dan lain-lain.
Sekarang sedang musim panas di
Alabama, jadi tidak terlalu gelap ketika dua orang, tampak sekitar umur 20an
muncul dan bertanya apakah kami melihat babi hutan ketika kami berkeliling.
Berhubung di sini adalah daerah pedesaan Alabama, pastinya kami telah melihat
beberapa, dan itulah yang kami katakan pada mereka.
Meskipun mereka adalah orang-orang
yang cukup santun, aku mendapat getaran yang aneh dari mereka—pakaian kotor,
rambut acak dan berminyak, brewok kasar yang dibiarkan tumbuh, dan yang
lainnya. Kupikir mereka mungkin terlihat seperti pemeran dalam film
“Deliverance”.
Mereka berkeliling selama beberapa
menit, mungkin sedikit lebih lama dari yang mereka perlukan—melihat sekeliling,
menanyai kami pertanyaan semacam; sudah berapa lama kami berada di sini, berapa
lama kami akan tinggal, dan apalah yang terkesan mengukur kami. Mereka kemudian
mengucapkan selamat tinggal secara singkat dan berjalan menjauh. Aku tidak sepenuhnya
merasa tertekan oleh mereka, dan aku tahu betul kakakku juga tidak, tapi aku
tetap merasa tidak nyaman tentang semua ini.
Dipercepat 3 sampai 4 jam. Kakakku dan
aku sudah tidur dan meringkuk di dalam tenda kami ketika aku terbangun oleh
suara gonggongan beberapa ekor anjing. Aku biasanya tukang tidur yang sulit
dibangunkan dan gonggongan itu terdengar seperti berjarak 100 yard dari tenda
kami. Jantungku sontak berdegub kencang, aku menendang kakakku dari dalam
kantong tidurku dan bertanya jika dia tengah terjaga alias telah mendengar
suara gonggongan. Dia merespon, “Aku bangun, mereka sudah semakin mendekat
selama sekitar setengah jam yang lalu, jadi tetaplah berbaring dan jangan buat
suara sedikitpun.”
Tidak perlu dikatakan, aku yang
berusia 12 tahun mulai takut setengah mati. Kami juga mendengar sahutan
sporadis dari beberapa orang di lokasi berbeda namun tak seorangpun mendekat.
Beberapa menit kemudian kakakku berbisik, “Mereka hanya sedang berburu babi
liar, mereka membawa anjing untuk menuntun jejaknya dan saat menemukannya
mereka akan menembaknya.”
Kata-katanya memberiku kelegaan, tapi
tidak banyak. Bagaimanapun juga aku berusaha kembali tidur. Fakta bahwa mereka
melakukan ini saat malam hari merupakan bendera merah peringatan yang nantinya
dijelaskan kakakku, tapi aku berpikir dia hanya mencoba membuatku tetap tenang.
Setelah lewat 3 jam, sekitar pukul 2
pagi. Aku telah berusaha untuk tidur dengan cukup baik setelah di awal
mendengar para pemburu babi, ketika aku terbangun karena kakakku meremas
pundakku dengan kuat, sambil berkata, “Bangun, kenakan sepatumu dengan cepat
dan ikuti aku, setenang yang kaubisa.”
Jantungku segera kembali berpacu
karena aku masih mendengar anjing-anjing dan sahutan di kejauhan, lebih jauh
dari sebelumnya namun masih jelas. Tanpa bertanya pertanyaan apapun aku
melakukan apa yang ia katakan, dan segera setelah kami keluar dari tenda kami,
dia menyuruhku untuk naik ke pundaknya. Kami mengendap-endap sejauh 50 yard ke
dalam hutan menuju simpangan antara jalan setapak dengan sungai kecil dan
merangkak ke belakang semak-semak. Ini berada di atas bukit jadi kami mendapat
lingkup pandang yang lumayan bagus atas lokasi kemah kami.
Kelompok pemburu itu dengan mantap
mendekati tenda kami (setelah kurang lebih 30 menit) dan sekarang mereka sudah
mencapainya. Jumlahnya 5 orang dan 3-4 ekor anjing. Mereka tampak masih muda
namun dua di antara mereka membawa senapan ataupun shotgun dan anjing-anjing itu mulai menggila, jelas telah mengendus
bau kami.
Kepada siapapun kalian para backpacker atau peserta kemah, tidak
satupun orang yang datang ke perkemahan acak di tengah malam dengan membawa
anjing dan senjata yang memiliki niat baik. Aku tahu itu, dan kakakku juga tahu
itu. Aku benar-benar ketakutan. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka
katakan, tapi kemudian kakakku memberitahuku bahwa mereka sedang membicarakan
kami, meskipun dia tidak mendengarnya secara rinci.
Mereka tetap di sana selama sekitar 20
menit, menyorot senter ke sekeliling dan saling berbicara ketika kakakku
mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berkata, “Jika mereka datang kemari aku
ingin kau berbalik dan berlari secepat yang kau bisa, jangan berhenti, jangan
menoleh belakang, tetap menjauh dari jejak dan carilah kilatan cahaya.”
Aku tidak tahu maksudnya, tapi itu
akan terjadi kemudian. Aku tahu aku harus membuatnya kembali karena kakakku
telah mengajariku tentang ‘navigasi daratan’ dengan cukup baik. Dia kemudian
memberiku sebuah senter dan berpesan agar tidak melepas filter merahnya. Dia
menjelaskanku kalau filter merah itu akan membantu menjaga pengelihatan malam
dan membatasi jarak sinar sehingga akan lebih sulit bagi seseorang untuk
melihatnya melalui kejauhan.
Pada titik ini aku sangat ketakutan
dan hampir mulai menangis, tapi di saat yang sama mendapat pacuan adrenalin dan
apa yang kupikirkan sekarang adalah kepercayaan bahwa kakakku menganggap aku
dapat mengurus diriku sendiri.
Kami berbaring di sini selama beberapa
saat sampai mereka muncul entah dari mana mulai berteriak, “KEMANA KALIAN
SEMUA?!” dan menyebar acak ke dalam hutan. Kakakku menyeretku ke puncak bukit
dan menjatuhkan dirinya sendiri di atasku. Bersyukur posisi kami ada di atas
bukit dimana kami terlindungi dari segala tembakan.
Mereka menembak 5-6 kali lagi kemudian
mulai berjalan kembali ke arah mereka datang. Mereka kira-kira sudah pergi sejauh
100 yard saat aku mendengar raungan sirine dan melihat lampu darurat menyala
menembus hutan. Ternyata kakakku yang telah memanggil Layanan Penjaga Hutan
dari telepon satelit—yang semua keluarga kami punya untuk hal-hal
darurat—ketika aku tidur, dan mereka telah mengirim Penjaga Hutan dan petugas
ke area hutan belantara dimana kami berada. Hutan belantara Sipsey sekitar
25.000 hektar luasnya, jadi mereka membutuhkan beberapa waktu untuk mencapai
kami melalui medan yang bermacam-macam.
Ketika kami melihat truk petugas,
kakakku memberi mereka sinyal dengan senter dan menunjuk mereka ke arah para
pemburu yang beranjak pergi, dan petugas itu menerangi titik sorot diantara
pepohonan.
Segera setelah mereka pergi kami
kembali ke perkemahan kami, membereskan segala barang-barang kami dan menunggu
petugas itu datang lagi, yang kemudian memberi kami tumpangan di belakang
truknya untuk turun dari panggung berbahaya ini.
Saat perjalanan kembali kakakku memuji
betapa beraninya aku dan kami akan membicarakannya pada orang tua kami besok
jika aku mau. Aku menolak untuk melakukannya karena kukira mereka mungkin tidak
akan mengijinkanku pergi berkemah lagi.
Pemburu
gila di dalam hutan, mari tidak bertemu lagi, atau kau akan mendapat tembakan
lain kali.