WARNING, GREETING.

THIS ISN'T REALLY HAPPENING. YOU'RE DREAMING. PLEASE, WAKE UP. PLEASE. WE NEED YOU NOW. EVERYTHING IS COMING TO AN END. PLEASE WAKE UP. THERE ISN'T MUCH TIME LEFT.

Masterchef Al-Sekoting! Ch. 1

"Sepertinya hari ini giliran mereka."
"Kelas 10-4?"
"Sip! Hasil karya anak-anakku~ Nyaahaha~"
"Terserah. Yang penting takjilnya nanti saya dapat yupi."


Fanfiction: Masterchef Al-Sekoting! © Ha-kun, Ha-chan Wasakhowatin / Hatsu Haru (id: 4626177)
Shingeki no Kyōjin © Hajime Isayama


• Humor, Parody, OOC, absurd, typo, R.I.P EYD.

• Twoshoot.
• PG9 or Rated K.
• Don't Like, Don't Read. Read the rules!



Jarum jam dinding lurus menusuk angka tiga dan lima. Jama'ah Ashar baru saja dibubarkan, menyisakan beberapa penghuni pesantren yang nganggur. Kurang dari tiga jam untuk berbuka, tapi mereka tidak punya ide lain untuk ngabuburit selain duduk melingkar mantengin bedug di teras masjid Al-Sekoting.

"OOOIII 'MAN-TEMAN ANAK KELAS 10-4 SEMUANYA DIPANGGIL PAK KYAI IRVIN DISURUH KUMPUL DI BALE-BALE SEKARAAANG!"

Seorang anak berkepala plontos berlari ke arah tumpukan santri putus lambung di depan masjid, sambil berteriak merapal perintah tanpa jeda napas. Di depan mereka dia berhenti angot-angotan.

"Con, sahur apaan ente masih kuat lari sambil teriak begitu?" sindir Joko yang senderan lemas di tiang sambil kipas-kipas.

"Sebenernya…" Connie menelan ludah kering. "Nggak kuat…"

Bruk.

Semua mata hanya menatap tanpa minat saat tubuh krempeng Connie tumbang.

"Wah, jatuh, tuh." Sahut Eren.
"Tulungin noh," Sambung Joko cuek.
"Ogah gue, lu aja gih."
"Elah lu kaga liat nih kerongkongan kering dan pecah-pecah?" Joko mengelus lehernya.
"Ah lemah lo," Eren gak peduli.
"Apaan?!"

Kedua telinga Rustam sudah mulai berasap. "Udaah berisik lu pada! Niat nolongin gak noh?"

"Kagak." kompak Eren dan Joko.

Semua kembali diam tanpa peduli teman satu asrama itu terkapar hampir tewas di tanah. Lalu sebuah pertanyaan membangkitkannya tanpa edo tensei. Eh. (Salah fandom)

"Betewe… Tadi dia teriak apa?"

Tuing. Connie melompat lucu dan duduk manis. Tapi sesuatu di tanah membuatnya melompat lagi. "Ah, Budi tadi dengerin ya—ADAAAUH!"

Connie kembali terkapar untuk yang kedua kalinya. Kali ini dia mengelus pantatnya sambil menangis deras. Yang lain masih melihatnya tak berminat. Joko dan Eren kembali berkicau.

"Connie semangat banget keknya,"
"Dia halangan paling,"
"Wah jatuh lagi noh."
"Dia dudukin kerikil sembarangan."
"Pasti ngilu,"
"Bantuin sana,"
"Ogah lu aja."
"Nyuruh mulu lu dari tadi."
"Lu sendiri?"

Kali ini Markonah yang gak sabaran. "Kalo diterusin bakal gue cekik satu-satu."

"Ampun." Eren dan Joko kicep seketika.

"Oke, Connie, berita apa yang kau bawa tadi?" Rustam menagih Connie tanpa simpatik padanya. Sementara Connie masih meringis-ringis menyedihkan, berusaha menyampaikan pesan dari ketua seluruh Pesantren itu.

"Itu… kita disuruh kumpul di bale-bale sama Kyai Irvin," ujarnya sambil menahan ngilu.

"Ada apa memang?" Armin bertanya lembut. Sepertinya dia sedikit kasihan pada santri yang lebih cocok jadi biksu itu.

Connie menjawab, "Gak tau, deh. Kalo gak salah buat bahas lauk buka…"

"ROGER!" Koor remaja-remaja lemah iman itu membenahi peci masing-masing secara serempak. Sedetik kemudian semuanya melesat ke arah bale-bale utama dengan antusias.

The power of words, huh?



"APAAA?!"

Paduan suara dengan nada protes yang tidak merdu terpantul di tiang-tiang balai pertemuan. Pimpinan pertemuan itu hanya mengangguk takzim.

"Ya! Giliran kalian memasak sendiri kali ini! Iyey!" Ustadzah berkacamata itu memang semangatnya sulit surut. Penuh bunga imajiner bertebaran di sekitarnya. "Uuum~ Aku tidak sabar mencicip masakan murid-muridku. Hyaaahaha~ "

Ustad Mike menepuk lengan wanita bahagia itu. "Bu, sabar, bu. Masih 3 jam lagi…"

"Baiklah. Kalian akan dibagi menjadi 2 kelompok agar dapurnya tidak terlalu rusuh dan lebih mudah membagi kerja." Kyai Irvin memulai lagi. "Ustadzah Hanji akan membacakan nama—"

Kalimat Kyai itu tenggelam oleh teriakan 'wohoo!' dari satu-satunya pembimbing wanita yang hadir di pertemuan itu. Tanpa menunggu ba-bi-bu lagi, dia segera mengumandangkan nama santri 10-4 satu persatu.

"Kelompok pertama!" Matanya berkilat di balik kaca. Tangannya tegas menunjuk wajah-wajah terkejut yang bertebaran. "Mikasa, Aningsih, Krista, Marko, Armin, Budi! Bekerjalah di dapur selatan (Sina)!"

Segerombol murid langsung berkumpul dan sedikit menepi. Hanji melanjutkan vonisnya. "Sisanya—Yamirah, Sasha, Eren, Joko, Rustam, Connie—kalian gabung jadi kelompok 2 dan bekerja di dapur timur (Maryam)!"

"Yaah gak adil!"
"Gue pengen sama Mikasa…"
"Mika mau sama Eren,"
"Pfft—"
"Yang itu isinya cewek semua!"
""GUE COWOK OI.""
"Tapi kalian 'kan uke!"
""WOI—""
"Yang jago dijadiin satu masa'?!"
"Tauk nih,"
"Kalian ngremehin skill dapur gue? Haah?!"
"Ah—nggak, nggak."
""Kenapaaa, gue sekelompok sama elu,""
"Ren, itu kalimat gue."
"Eh, ada kuda siluman."

Dan untuk dua menit berikutnya, durasi protes-dan-saling-hina itu terus berlangsung. Hingga sebuah aura mistis dari ustad pegal (pendek dan galak, fyi) sampai di tengkuk setiap santri, membuat mereka diam seketika.

"Sudah?" Ucapnya dingin. Semua peserta bergidik.

"I-iya, sudah, Tad."

"Bagus. Kalian harus selesai sebelum bedug ditabuh, yaitu pukul 18:28:35 WIB. Kalau tidak," jeda Ustad Rifa'i, "Kalian tidak dapat jatah sahur untuk 3 hari. Paham?"

"Paham, paak…" Tidak ada yang membantah. Para pengurus lain hanya senyum-senyum prihatin. Rifa'i mengomandokan ancaman lainnya. "Lalu sedang apa kalian? Nunggu minion jadi ganteng? Kalian sudah membuang 3 menit sia-sia. Yang jelas saya tidak mau makan makanan mentah."

"Yaa! Mulai, anak-anak! Mulai!" Hanji tersenyum lebar sambil melambaikan gerakan mengusir. Semua anak buru-buru keluar dari aula terbuka itu, namun kembali rusuh di depan balai.

"Weeh mana nih?!"
"Ilang! Sendal aye ilang!"
"Joook balikin sandal gue!"
"Oi itu punya gue."
"Setengahnya mana, nih?!"
"Jokooo!"
"Bukan gue! Markonah tuh."
"Gue?! Enak aje. Sandal gue sendiri ilang kok!"
"Con, punya kita ketuker!"
"Wah, iya. Jodoh, dong, ya?"
"Idih."
"Mampus—"
"Gak cepat, saya kutuk kalian jadi minion."

Drap drap drap drap…

Para santri bertebaran ke segala penjuru, tidak peduli apakah sandal mereka setengah, tertukar, ditenteng, atau nyeker sama sekali. Jadi mahluk kuning bantet dengan kacamata pantat botol dan baju monyet benar-benar seram. Menghabiskan masa tua dengan teriakan 'boo-yah!' dan memuja pisang setiap waktu bukanlah sebuah cita-cita. Mereka masih sayang diri sendiri.

Rifa'i's spell is super-mega-awesome.



Kelompok satu berdiskusi.

"Masak apa nih?" Marko memulai.

"Syaratnya harus lengkap, ya?"

"Yeah… ta'jil dan hidangan utama. Semua harus 4 sehat 5 sempurna."

Mikasa menginspeksi setiap bahan yang bertumpuk dalam karung-karung dan lemari pendingin. "Begini saja. Kalian yang laki-laki, siapkan dan bersihkan bahan juga peralatan makan. Yang perempuan bagian mengolah. Kita akan membuat ini."

""Baik.""

Dan sepertinya pekerjaan mereka akan baik-baik saja.



Sedangkan kelompok dua…

"Mati! Mati! Mati kau!"

"MASYAALLAH!"

"ALLAHU AKBAR!"

"Berhenti!"

"Aaah darah!"

"Tolong… pedih…"


To be continued.


Marhaban yaa Ramadhan, selamat berpuasa bagi yang menjalankan.
See you next chapter. Mind to review?

Intip Sekalian!

Hari Pertama Sekolah

Mad Father