WARNING, GREETING.

THIS ISN'T REALLY HAPPENING. YOU'RE DREAMING. PLEASE, WAKE UP. PLEASE. WE NEED YOU NOW. EVERYTHING IS COMING TO AN END. PLEASE WAKE UP. THERE ISN'T MUCH TIME LEFT.

A Can of Cola — Ch. 5

Orb azure itu terfokus indah, berkilat penasaran pada sebuah benda lucu nan aneh di antara kedua telapak tangannya. Benda kuning bercabang-cabang gemuk itu terasa empuk. Terdapat seringai multitafsir di bagian yang seperti sebuah kepala, dan di pucuknya ada rantai kecil yang menggantungkan pisaiu karet berwarna hijau.


...Apa ini?

Mendadak terasa vibrasi berjeda dari pusat benda itu, diiringi nada dering tak asing yang teredam. Nagisa membolak-balik “harta karun” di tangannya, memeriksa celah untuk meraih intinya yang tak mau diam.

Firasat menggerakkan jari-jarinya untuk meraih pisau imitasi, lalu menorehkannya pada bagian tengah benda itu, dan segera misteri terungkap dalam naungan bocah neraka. Sumber dering itu semakin nyata dan bergetar terang.

I... ini ‘kan—

———

———
Fanfiction: A Can of Cola © Ha-chan, Ha-kun Wasakhowatin / Hatsu Haru
Ansatsu Kyōshitsu © Yuusei Matsui



·        KaruNagi/KarmaGisa. (Baru terlintas kalau MaGisa itu terdengar seperti Mae x Nagi... Silly me. =_=)
·        Romance, BL, humor, typo... I’m cursed.
·        Rated T (13+)
·        Don’t Like, Don’t Read.

———

Harusnya masih jam yang sama. Period yang sama dengan guru yang sama. Bersyukur pada Maehara yang mengeluhkan keterlambatannya, dan Kataoka yang mempertanyakan wajah pucatnya.

Kurang enak badan, katanya. Begitu akhirnya ia dapat izin dari guru muda PE dan kini berada di depan sebuah vending machine dengan keluguan yang bandel. Maniknya melebar tidak percaya melihat benda persegi panjang yang akrab dengannya, dan sebuah benda kuning lembut yang memuntahkan segumpal kapuk sintetis, juga pisau karet mainan yang menusuk torso.

Ponselku? Kenapa di sini?

Terdapat log missed call dari nomor rahasia di monitornya. Panggilan itu yang menyebabkan boneka humanoid yellow octo di tangannya berbunyi tadi. Benda penting di era modern itu hampir terlepas dari tangan karena pemiliknya kembali terkejut.

Aku ragu ini tidak berpengaruh baik untuk kesehatan mentalku, Nagisa membatin lemas.

Panggilan masuk masih meniunggu konfirmasi. Nomor rahasia yang diyakini satu sumber dengan penggilan tak terjawab sebelumnya, tertulis digital di layar. Cari aman, Nagisa menggantung panggilan dan berlari kecil menuju kelasnya yang sepi.

Moshi moshi... maaf kugantung,”

‘Kamu sudah masuk?’

“Hah?”

‘Kamu sudah di dalam?’

Di dalam? Dimana? Melihat sekeliling dengan ragu, “Aku... di dalam kelas.”

‘Sendirian?’

“Uh, um.” Tidak paham, Nagisa mengangguk pada telepon.

Wait, babe. Your hero is coming.’

Klik.

“Ah, ano, kamu—”

Tuut. Tuut.

Kebingungan si bluenette memandang layar 4.0 inci yang berkedip ritmik. Mengingat salam terakhir membuatnya merasakan tekanan keras pada dadanya, memompa darah lebih laju dan merepotkan pulmo di sisinya. Nagisa terduduk di lantai, menempelkan pipinya yang panas pada rangka kaki meja. Dingin besi putih, serapan dari AC begitu menyenangkan.

Apa... jantungku kenapa...
Kenapa aku lelah sekali...
Aku masih 14 tahun tolong...

Greek.

Karma...kun?

Bruk.

———

Karma menyeringai senang selama menapakkan kakinya santai di koridor selatan tingkat dua gedung SMP Kunugigaoka. Tangan kanannya memutar-mutar ponsel dan sekaleng minuman dingin tergenggam di tangan kirinya, tidak peduli kalaupun ada guru yang memergokinya lalu menghukumnya, entah pasal bawa ponsel, membeli minuman di luar jam istirahat, atau karena membolos kelas.

Itu urusan gampang, pikirnya, yang cepat melompat ke hal lain. Kira-kira... permainan apa lagi yang bisa kusuguhkan, ya, untuknya.

Mata tembaga itu membaca papan penanda kelas yang tergantung di atas pintu. Setelah dirasa menemukan yang dicari, dengan mantap ia membuka pintu geser dan melangkah masuk.

“Yo, Karma! Kau benar-benar seorang hero, ya. Ha-ha.”

Mata Karma melebar, mendapati kenyataan bahwa Nagisa berbohong. Tidak sepenuhnya berbohong, hanya nyatanya Nagisa tidak sendirian seperti yang diakunya. Tepatnya ada dua orang yang membuatnya seolah berbohong.

“Wah... Lagi-lagi kalian. Ada apakah gerangan berada di sini?” Tersirat rasa tidak suka dalam senyum yang mengembang. Sudut matanya menangkap pemandangan memuakkan, dimana salah satu dari mereka tengah merangkul pundak Nagisa yang duduk terlelap di lantai. Tangannya mengepal, meledakkan kaleng soda yang dipegangnya seketika itu juga.

“Yeah... awalnya kami cuma nganggur karena bolos kami membosankan. Lalu kami melihat anak baru yang manis ini sendirian di depan mesin minuman, melakukan ini-itu, lalu berlari masuk ke kelasnya yang sepi. Kami mengikutinya dan mendengar dia berbicara di telepon.

“Setelah kami masuk untuk ‘menemaninya’, tiba-tiba dia runtuh sendiri di lantai. Jadi kami memungutnya dan berencana merawatnya. Bukankah kami ‘teman’ yang baik?” Terang siswa bertubuh besar dengan tampang menyebalkan. Karma mendecih.

“Apa coba yang berani kaurencanakan padanya, hm?” Aura Karma semakin pekat.

“Kau masih tanya?” Cowok berambut cepak itu menatap remeh Karma. “Tentu saja menyelesaikan permainan kami tadi pagi, yang kau potong seenaknya.”

“Heei... Kusarankan untuk memakai otakmu yang kecil dan terbalik itu sebelum berbicara.” Karma mendidih, menyeringai ganas. Ia mulai melangkah maju. “Aah, aku tahu. Kalian bahkan tidak bisa mengoperasikannya, ‘kan? Apa kalian tidak mendapat buku panduan pemasangannya dalam bungkusannya?

“Fu-fu. Permainan kalian? Yang benar saja. Satu-satunya permainan yang anak itu ikut berpartisipasi adalah permainanku.”

Karma berhenti satu lengan di depan berandal itu. “Saa, bocah, daripada ngelantur sembarangan, kenapa tidak melanjutkan permainan kita saja? Apa kau akan kabur juga seperti tadi pagi? Hm?”

“Bicara apa ka—UGH!”

Tanpa aba-aba, Karma menyepak kepala orang di depannya dengan keras. Selanjutnya ia melancarkan serangan bertubi-tubi sambil tertawa.

“Yang kalah harus dihukum, ya~” Ujar si Kepala Merah sambil menangkis beberapa serangan.

“Hei, big boy, kenapa diam saja? Katanya mau main~”

Tinjuan Karma tiada ampun.

“Oh! Apakah otak kacang polong-mu menggelinding keluar dari telingamu?“Wai, bahaya, tuh.
“Kalau ditemu tikus, terus dimakan, berarti kamu gak bakal punya otak selamanya, dong...
“Kasihan... diganti apaan, ya? Biji salak? Atau selasih? Ah, jangan. Ntar lu joget ero gak henti-henti lagi.”

Karma mengelak sambil menunjuk orang di samping Nagisa dengan hawa membunuh. “Lain kali suruh pembantumu itu untuk memompakan otakmu, ya, biar gedean dikit meski isinya cuma angin.”

Orang yng dimaksud Karma pun teersinggung. Dia meninggalkan Nagisa di lantai dan menerjang Karma. Seperti yang kalian perkirakan, itu sia-sia di depan sang Bintang. Yang ada malah semangat Karma yang semakin menggila.

“Waaha, kamu ikutan... Telat, sih... Tapi okelah. Aku akan melayani dengan sepenuh hati. Hahaha.”

[A/N: Jangan salah fokus.]

Karma melepas musuh pertamanya, beralih pada musuh yang lain. Setelah memukul sana-sini dan membuat mereka hampir tepar, Karma mengetuk ubun-ubun mereka, mencengkramnya, lalu menggoyang-goyangkannya dengan riang.

Sumimasen... adakah organ di dalam? Adakah? Tidak ada, ya? Heeh... gak kaget, sih.”

Karma melepas cengkramannya. Mereka mengerang lemas. Karma memulai vonisnya.

Karma menonjok mata, “Hukuman karena mengintip orang,”

Karma menampar telinga, “Hukuman karena mencuri dengar,”

Karma memelintir tangan, “Hukuman karena pegang-pegang mainan orang,”

Karma melompat-lompat di atas kaki, “Hukuman karena ngintilin orang,”

Salah satu dari mereka menginterupsi, “Memangnya... anak baru... itu... ugh—siapamu, heh...”

“Hmm~?” Jeda sejenak, Karma tersenyum. “Siapaku, katamu?”

Suara Karma timbul tenggelam di indera mereka yang telah dibuat cacat oleh tunggal Akabane, yang kembali menjambak kasar kepala mereka berdua, dan mengadunya keras.

“Hukuman karena kalian bodoh.”

DUKK!!!

Kedua tubuh belur itu tumbang tak sadarkan diri. Karma berbalik menghampiri tubuh lemas Nagisa dan memondongnya, membawanya keluar kelas dengan hati-hati. Seringai jahatnya berubah menjadi lembut, mengekap tubuh kecil erat di tiap kakinya melangkah.

Di kepalanya terngiang ucapan berandal itu. “Siapamu?”

“Dia ini...”

———

Sepasang mata mengerjap., menyesuaikan kontras. Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah langit-langit putih dan selintas aroma kimia. Ini... UKS?

Kepalanya melirik ke kanan, tampak kas kecil di sampingnya dan tirai putih tinggi mengelilingi ranjang. Sesuatu di sebelah kiri tertangkap matanya. Sebuah kepala merah tergeletak begitu saja di tepi ranjang. Melihat itu membuat jantungnya berdebar lagi.

Karma-kun... Nagisa menarik selimut, menyembunyikan sebagian wajahnya. Matanya masih terkunci. Lucu... Lingkaran rambutnya kelihatan.

Tangan dengan karet gelang terulur perlahan menuju kepala itu, sampai...

“Akhirnya kau bangun juga.”

DEG!

Nagisa bagai tersengat nekodamashi. Dengan segera ia menarik kembali tangannya ke dalam selimut.jantungnya random gak karu-karuan. Empu kepala merah itu menegakkan badannya.

“Kukira kau tidak akan bangun dan membuat sequel “Another Sleeping Beauty”.

Nagisa merengut. “Apa maksudmu dengan itu?”

“Kautahu, ‘kan, dongeng bodoh yang itu.” Karma menyodorkan segelas air, “Puteri yang lama tidur karena sihir, kemudian ada pangeran yang datang dan membangunkannya. Dengan ini.”

Nagisa bergidik ngeri saat Karma menunjuk bibirnya sendiri.

“Tapi... kalau kau dan aku ada di kondisi seperti dongeng, aku tidak akan melakukan apa yang pangeran lakukan.”

Nagisa meneguk air pemberian Karma dengan tatapan bertanya. Karma melanjutkan, “Aku dibanjiri oleh ide,

“Hm... aku berencana mendandanimu dengan segala macam gaun, memotretnya, lalu melelangnya di pasar gelap.”

Karma nyengir. Nagisa nyembur.

“Uh... aku tidak yakin itu akan laku di pasaran.”

“Kau bercanda? Lihat,” Karma mengeluarkan ponselnya, lalu menyodorkannya di depan wajah Nagisa. “Tadi aku mengganti seragam olahragamu dengan seifuku cadangan yang kupinjam dari Nakamura. Aku membuat pose tidurmu manis, memotretnya, lalu mengunggahnya di forum. Nih, aku dapat tawaran sampai ¥5000, loh~”

“Hentikaaan!” Nagisa menggapai-gapai ponsel Karma, berusaha merebutnya. Karma terkekeh mundur sampai di luar jangkauan Nagisa. Nagisa beranjak turun dari ranjang.

Klik.

Sedetik kemudian Nagisa melompat kembali ke dalam selimut dan menutupi seluruh tubuhnya. Sedangkan Karma tampak puas dengan hasil jepretannya.

“Aku akan mengunggahnya dengan judul “Awaken Sleeping Beauty”.”

“Karma-kun... hentikan itu...” Nagisa tertelan gumpalan kain. “Apa yang kaulakukan padaku selagi aku pingsan...?”

“Aku ‘kan sudah cerita tadi.” Jawab Karma, masih fokus pada ponselnya. “Sudah. Kau tampak menggairahkan dengan ekspresi bangun tidur itu. Kurasa aku bisa mendapat ¥7000 kali ini,”

“Seragamku... kemana seragamku?”

“Ada, di tempatnya.”

“Di tempatnya? Maksudmu... di ruang ganti?!” Nagisa tampak shock. Karma mengangguk lugu. “Kalau kauambil sekarang, kau bisa membuat para siswa patah hati, lho.”

“Jadi gimana?! Aku tidak mau memakai pakaian ini terus!”

“Aku juga tidak mau mereka melihatmu memakainya.”

“Hah? Lalu kena—”

“Karena kamu cuma buat aku.”

Nagisa terdiam. Tatapan Karma tegas, sekaligus lembut, lurus menghujam azure yang membulat. Canggung, Nagisa merebahkan diri membelakangi Karma, meringkuk, dalam selimut sampai ujung kepala. Karma menghela napas., menggeser kursi dan beranjak. “Aku akan mengambilkan gakuran-mu. Tetap di sini sampai aku kembali.”

Tidak ada respon. Pikirannya bentrok satu sama lain. Dadanya mau pecah. Wajahnya hampir matang. Tidak lama, Karma kembali dan menimpakan seragam yang sedikit masih bau pabrik. Ke atas gundukan selimut. “Nih, gakuran-mu. Cepat ganti.”

Nagisa mengintip dari tepi selimutnya, tampak siluet seseorang berdiri di sisi lain kelambu, menunggu. Nagisa duduk, melirik gakuran yang satu nomor kebesaran, lalu ganti memandang seifuku yang melekat pada tubuhnya. Ubun-ubun Nagisa berasap, mengingat gelagat Karma beberapa menit lalu.

“Tauk, ah. Benci aku.” Dengan kasar Nagisa menyabet seragamnya dan melepas seragam beda gender pinjaman. Terdengar sahutan lemah dari balik tirai. “Aku, ya?”

“Hah? Apa?”

Terasa getaran tak nyaman mengisi udara.

“Kamu...

“...Benci padaku, ‘kan?”

• T • B • C •

Minna~ lama tak jumpa akhirnya saya publikasikan juga chapter 5. Iyeeeey~
Ini artinya tinggal satu kaleng terakhir menuju end roll... *menggelunding keluar*

Kalian tahu... ore gak mampu baca manga chapter 141-149 dengan lancar...
Selalu begini: Penasaran, gak sabaran, terlalu semangat, sesak napas, kokoro meledak, daan... check up ke RSJ terdekat. Sampai dihapal semua penghuni semua nomor kamar satu lorong, loh! Guwa kayak seleb. /pamer *pose* *terbuang*



Sepertinya tidak ada basa-basi yang mau dibahas lagi, jadi... mind to review?

Intip Sekalian!

Hari Pertama Sekolah

Mad Father