WARNING, GREETING.

THIS ISN'T REALLY HAPPENING. YOU'RE DREAMING. PLEASE, WAKE UP. PLEASE. WE NEED YOU NOW. EVERYTHING IS COMING TO AN END. PLEASE WAKE UP. THERE ISN'T MUCH TIME LEFT.

The Revolving Door — 3

Sebelumnya...

 ‘Hello?'

Lagi, tak ada yang merespon ucapanku. Putriku tidak sedang menjawab teleponku, aku yakin itu. Aku menatap kearahnya saat aku menempelkan ponselku ke telinga.

Dia balas menatapku juga, tapi dia meletakkan ponselnya di tanah. Dia masih membawa boneka beruangnya.

Melalui speaker aku bisa dengar dengungan suara, tapi tidak seorangpun berbicara padaku secara langsung. Perlahan tapi pasti bisikan itu semakin jelas dan aku bisa mendengar percakapan yang tengah berlangsung. Itu aku, bertengkar… dengan istriku, kira-kira?

‘Kau tahu? Mungkin aku akan pergi. Aku muak dengan segala omong kosong ini!’

‘Itu memang dirimu. Kau selalu kabur dari segala permasalahan!’

‘Ya ampun... Apa yang kaumau dariku?...’

‘Kau benar-benar ingin tahu?’

‘Katakan saja, yeah.’

‘Aku mau kau keluar dari rumah ini! Dan pergi dari kehidupan kami!’

‘Hidupmu? Kalau aku pergi, aku akan membawa serta anak kita.’

‘Oh, tidak, kau tidak akan…’

Suara ketiga masuk.

‘Apa yang terjadi?...’

‘Celine, pergi ke kamarmu. Mommy dan daddy sedang bicara!’

Percakapan tiba-tiba berhenti, diikuti dengan nada putus. Argumen itu dengan sendirinya mengulang di kepalaku. Aku menoleh ke putriku yang sedang menatapku terus selama aku mendengarkan teleponku.

‘Daddy… bukan itu saja yang ingin kuberitahukan padamu.’

‘Apa maksudmu?’ tanyaku.

‘Aku ingin menunjukkan lebih lagi. Mommy bilang kalau kau tidak pantas untuk itu. Tapi aku tidak akan memberitahunya kalau kau tidak mau.’

‘Tolong tunjukkan padaku… apa yang terjadi,’ ucapku.

Dia tidak meresponku, dia juga tidak mengalihkan tatapannya dariku. Aku menatap lurus ke matanya dan melihat air mata mulai keluar. Aku mencoba mengatakan sesuatu tepat saat air matanya bergulir turun, tapi aku tidak menemukan kata-kata apapun. Aku memperhatikan air mata itu, yang merambat turun di pipinya, terus ke lehernya lalu jatuh di gaunnya. Di pakaiannya mulai muncul beberapa titik merah. Titik merah yang semakin melebar…

‘Itu menyakitkan…’ ujarnya.

Noda darah itu semakin membesar. Aku bisa melihat bahwa putriku berusaha berdiri di atas kakinya yang gemetaran. Mataku mulai berair. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku mencoba mendobrak jendela di sekitarku, mencoba untuk keluar lewat sudut dari pintu putar, tapi itu tidak berguna. Aku ingin merengkuhnya di pelukanku.

‘Kau ingin aku menunjukkannya padamu…’ ucapnya padaku saat ia mulai terjatuh ke tanah.

Aku jatuh berlutut, dengan air mata deras melihat apa yang terjadi pada putriku.

Aku menundukkan kepalaku dan batinku menjerit. Putriku…



***

Aku seharusnya tidak membuatnya menderita seperti itu. Argumen itu, itu ada hubungannya dengan kematiannya. Tapi apa yang sebenarnya terjadi?

Aku tidak lagi yakin mana yang nyata atau tidak. Aku terjebak di pintu ini, itu yang pasti. Tapi, pintu ini tidak normal kuatnya dan menahan apapun yang kulempar padanya. Lalu kemudian aku melihat putriku. Tapi apakah itu benar-benar terjadi? Apakah aku berhalusinasi? Tidak… tidak mungkin aku begitu. Terlalu banyak hal terjadi di waktu sesingkat ini…

‘Apa kau ingat putrimu?’

Ini lagi! Suara itu! Suara itu yang sumbernya selalu tak tampak…

‘Putriku meninggal!’ Aku berteriak pada suara itu. Aku tahu itu gila untuk berbicara pada suara yang mungkin tidak nyata. Tapi suara itu mengejekku… Jelas ia melihat semua yang terjadi.

‘Apa yang kauingat pasti?’

‘Dia mati. Dan aku terjebak di sini. Aku tidak bisa melakukan apapun.’

Aku kembali berdiri dan melangkah. Pintu ini yang membuatku terjebak. Pintu ini pasti berhubungan dengan tragedi keluargaku. Apa yang kulewatkan… Pastinya suara wanita itu bisa menjelaskan sesuatu.

‘Hello? Apa kau di sini?’ Tanyaku.

Tak ada respon. Aku menoleh ke luar untuk melihat kalau saja ada tanda-tanda meski cuma sebias cahaya matahari. Di sini cuma kegelapan yang kulihat. Tiba-tiba tampak cahaya kecil di kejauhan. Seperti lampu depan mobil yang bergerak menuju hotel. Mungkinkah? Perlahan tapi pasti cahaya itu mendekat. Aku bisa melihat sebentuk mobil berbalik dan parkir di depan bangunan, sorotan cahaya masih menyorot lurus ke pintu. Seseorang keluar dari mobil.

Siluet itu tampak bergerak menuju bagasi mobil. Aku tidak dapat melihat apa yang terjadi di bagian belakang mobil, tapi setelah beberapa saat orang itu mulai berjalan menuju pintu masuk, membawa sesuatu. Aku menempelkan tangan ke kaca, mencoba mengenali sosok itu. Siluet itu semakin jelas dan aku tahu aku melihat seorang wanita, menilai dari rambutnya. Dia membawa sesuatu dalam balutan selimut. Beberapa meter dari pintu, dia berhenti berjalan dan kupikir dia melihat ke arahku.

‘Jamie?’ ucap wanita itu.

Terkejut, aku menjauh dari jendela.

‘Siapa kau? Mendekatlah agar aku bisa mengenalimu. Tolong…’

Wanita itu melakukan apa yang kupinta. Dia berjalan menuju kaca dan meletakkan barang bawaannya.

‘Ini aku, Jamie.’

Aku juga mendekat ke gelas agar bisa melihatnya.

‘Sally, apa yang kau lakukan di sini? Panggil polisi, panggil ambulan. Putri kita meninggal!’ Kataku padanya seraya menunjuk Celine.

Dia tidak meresponku. Malah, dia berjongkok dan membuka selimut yang awal dibawanya. Aku memperhatikan ia membukanya. Dia mengambil objek itu dan memegangnya dengan kedua tangan, menunjukkannya seakan itu benda peninggalan keramat. Pisau itu memantulkan refleksi bayangan Sally di antara garis-garis rembesan darah.

‘Kau ingat ini? Aku ingat…’ ucapnya.

‘Aku tidak. Tapi aku mendengar pertengkaran kita lewat telepon,’ balasku.

Sekali lagi dia tidak merespon.

Dia memalingkan wajah ke sisi lain pintu putar itu, dimana putri kami terbaring.

‘Malaikat kita. Dia tidak berhak mendapatkan ini. Begitu pula aku,’ dia berbicara tanpa melihat ke arahku.

Dia menatapku kemudian. Dia menjatuhkan pisau itu dan mengeluarkan ponselnya dari saku, menghubungi sebuah nomor.

Ponselku mulai berdering. Aku berbalik, menempelkan ponsel ke telingaku dan mulai menyimak…

Not fin yet

Intip Sekalian!

Hari Pertama Sekolah

Mad Father