A Can of Cola — Ch. 3
Kuning itu memperhatikannya.
Angin di daerah dekat gunung memang punya sensasi sendiri. Temperaturnya, tekanannya, aromanya, suasananya… merilekskan badan petit milik Nagisa yang lelah karena meladeni mood Akabane Karma. Tubuhnya terasa ringan dan terangkat, dengan menumpukan semua beban pada batang dan akar pohon ini. Untuk sesaat Nagisa sempat terhipnotis oleh suasana surgawi ini, sampai ia bergerak menggeser tumit.
Kakinya menyadarkannya.
Kakinya yang tergantung bebas dan tanah padat yang hilang dari pijakannya.
Bukan lagi akar, tapi rantinglah penopang tidurnya.
Dan suara lebih cepat daripada refleks.
Sebelum adrenalinnya mencelos ataupun ia sempat membelalakkan kedua kaca aquamarine-nya, telinganya sudah terlebih dahulu mendapat peringatan.
“Kalau kau terlonjak tiba-tiba, kau akan jatuh dengan tiga kemungkinan;
“Rantingnya patah dan kau akan jatuh ke tanah,
“Kau akan hilang keseimbangan dan tersungkur ke tanah,
“Atau kau akan terjun bebas ke pelukanku."
———
———
Fanfiction: A Can of Cola © Ha-chan, Ha-kun Wasakhowatin
Ansatsu Kyōshitsu © Yuusei Matsui
• KaruNagi/MaGisa
• Romance, BL, OOC (maybe?), typo… Dammit.
• Rated T (13+)
• Don't like, don't read.
———
“?!—"
Belum memilih.
“Uwaah!"
Bahkan itu bukanlah sebuah pilihan.
“Ukh—"
Tapi jawaban sudah ditentukan.
“…"
“Ittai…" Nagisa mengelus kepalanya. Kenapa aku bisa di atas?
“Are?"
“—kh, pilihanmu bagus juga." Sebuah wajah menyeringai miring sejengkal di depannya. Pupil dalam lensa aqua itu mengecil. Menyadari posisi mereka berdua benar merugikan satu pihak, Nagisa beranjak bangkit.
“Aah! Ma-maafkan aku!" Ucapnya panik dan merasa bersalah. “Aku benar-benar tidak tahu! Maaf!"
“Tidak, uh, tidak masalah."
“Aku sungguh minta maaf," Sorot matanya khawatir. “Akabane-san, kau baik-baik saja?"
“Hei, berhentilah meminta maaf." Jawab Bintang itu santai. “Aku tidak akan mati hanya karena tubuh 45kg-mu jatuh menimpaku. Tenang saja, aku tahan banting."
“Aku benar-benar tidak sengaja," Nagisa menunduk. “Aku hanya duduk sebentar di bawah sini, tapi begitu sadar aku sudah ada di atas, lalu jatuh dan menimpamu."
Karma terduduk menepis debu dari pundaknya. Nagisa berjongkok di depannya, menatap cemas. “Apa kau benar baik-baik saja, Akabane-san?"
“Ngeyel, ya. Nih, kuberi tahu. Pertama, panggil namaku saja, biar akrab." Manik keemasan Karma menatap lurus dengan seringai khasnya. “Kedua, karena kau menanyakannya terus menerus… yeah sepertinya badanku sakit semua."
“Aku sungguh minta ma—"
“Ini sudah ketiga kalinya,"
“Eh? Apa?"
“Minta maaf. Sudah 3 kali dalam semenit."
“Be-begitukah…" Nagisa menggaruk pipinya yang tidak gatal. “E-he, ma—"
“Kalau kau teruskan, aku tidak akan mengembalikan bukumu." Potong Karma sambil mengeluarkan buku yang familiar di mata Nagisa dari dalam almamaternya.
“…af—hei, kembalikan!" Tangan Nagisa terulur, mencoba meraih bukunya. Sementara Karma semakin menjauhkan buku itu dari jangkauan Nagisa. Tangannya mengibas-kibaskan buku itu dengan jahil.
“Kembalikan? Kenapa harus?"
“U-uh…" Nagisa masih berusaha menggapai bukunya. Sayang, perbedaan ukuran benar kadang merugikan. “Tolong, aku semalam suntuk mengerjakannya… uh,"
“Eh~ Benarkah?" Karma menaikkan satu alisnya. “Masih banyak yang salah, tuh, rumusnya,"
“…uh, makanya kembalikan…"
“Mau kuajari? Hm?"
“Uuh, berikan dulu bukunya…"
“Nanti dulu. Kamu lupa?"
“…eh?" Nagisa langsung menurunkan tangannya, matanya penuh menatap keping sewarna madu yang berkilat jahil di hadapannya. Si Rambut Merah menyeringai nakal.
“Sakit, nih~" Karma merengut innocent, meringis menunjukkan punggungnya. “Rawat aku dulu~ ♥"
“…ugh," Nagisa speechless.
“Kalau kelamaan izin, nanti Sensei curiga kamu bolos, lho."
“…" Ruwet. Isi kepala Nagisa jadi absurd meladeni orang di depannya ini. Entah kenapa Nagisa merasa ia telah mendapat karma yang salah. Akhirnya dia menghela napas. “Baiklah, akan kuantar kau ke UKS."
“Emang tahu jalan?" Ngeselin. Orang ini emang ngeselin.
“Er… um… UKS… sebelah sana, bukan?" Ragu-ragu, Nagisa menunjuk sebuah jendela di sisi gedung. Karma tersenyum lembut untuk sesaat, kemudian tertawa lebar penuh penghinaan. “Ahahaha!"
Nagisa yang awalnya memasang ekspresi polos dan kebingungan, berganti menjadi tatapan malas dan jengkel. “Kau ini…"
“Um? Nande?" Karma menghentikan tawanya, menatap jenaka pada murid baru yang hendak beranjak di hadapannya. “…Maaf, aku harus kembali ke kelas secepatnya."
“Hm, gitu?" Timbal Karma tak peduli. Lalu tangan dengan gelang karet itu terulur di depannya. “Tunjukkan jalannya, aku akan merawatmu."
Kaca madu Karma membola, merespon kalimat Nagisa yang tiba-tiba. Nagisa sendiri tengah sedikit memalingkan wajahnya, melirik kejauhan. Dalam bayang-bayang pohon Karma bisa melihat wajah itu kemerahan. Entah kenapa ia ingin tertawa, namun ditahannya sebatas senyum. Dia menerima uluran itu.
“Yah… Baiklah," Desahnya sambil berdiri. Ekspresinya diam saat Nagisa mengalungkan lengannya di sekitar pundak kecilnya. Helai-helai biru itu menyapa pipinya lembut. Karma menarik napas. Halus… bubble gum, huh? …Manis.
Tertatih Nagisa menopang tubuh yang lebih besar darinya itu. Karma tersihir, diam memperhatikan ekspresi orang di sampingnya. Alisnya bertaut serius, mata birunya indah, dan pipinya terdapat bias tipis kemerahan. Pemandangan itu memberi aura baru pada sosok Akabane Karma.
Karma tersenyum manis.
Tangannya terulur melewati bahu Nagisa.
Matanya menutup saat ia merengkuh tubuh kecil itu.
“?!" Sentakan kecil muncul karena tindakan Karma yang tiba-tiba. Wajah Nagisa semakin merah. “A-Aka—"
“Karma." potong pemilik nama dingin. Ia menumpukan dahinya pada bahu kiri Nagisa. Merahnya bergesekan dengan biru. Aroma mint segar menghampiri hidung Nagisa, membuat wajahnya semakin panas.
“Ka-Karma…kun," Jantung Nagisa seakan memberontak keluar.
“…Hmm," respon Karma singkat.
Nagisa menundukkan kepalanya. “Kamu…
“…berat."
“…"
Awkward.
Nagisa merasa tubuh di belakangnya bergetar. Waspada dan bingung menghampiri pikirannya. “Karma-kun kau baik-baik saja?"
Tubuh Karma semakin berguncang, perlahan melepas badan kecil Nagisa. Sampai akhinya muncullah rentetan tawa darinya. “Berat katamu? Lalu kenapa kau percaya diri sekali ingin menopangku ke UKS?" ujarnya di sela tawanya.
Pipi Nagisa kembali memerah, malu sekaligus kesal. Pusing pala Nagi(?). Tapi ia tidak bisa marah cuma karena jokes seorang Raja Usil.
“…"
“Eeh? Ngambek?"
“Tolong," Nagisa menundukkan kepalanya sungguh-sungguh. Detak jantungnya masih tidak bisa diredam. Nagisa bingung sendiri. “Tolong, kembalikan bukuku."
Karma terdiam. Semilir angin mengisi jarak mereka. Karma memalingkan wajahnya. “…curang."
“Eh?" Nagisa mengangkat wajahnya, menatap bingung pada Karma yang berdiri sendirian di depannya. “Apa?"
“Hn." Karma memasukkan tangannya dalam saku celananya. Ia menghela napas. “Memangnya kamu sungguh-sangat-perlu-sekali sama buku ini, ya?"
“Ee?" Nagisa tampak kesulitan mencerna tujuan kalimat pleonasme Karma. Tapi ia mengangguk mengiyakan. “…um. Tentu saja aku perlu buku itu."
“Begitukah," Karma memandang langit. “Hm… Baiklah. Akan kuberikan buku ini. Kau tinggal ambil saja dariku."
“Benarkah?!" Bluenette itu tampak berseri-seri. Karma mengangguk-angguk lucu.
“Aku selalu menepati omonganku," Karma tersenyum manis. Nagisa bergidik, sweatdropped.
Tapi kau licik…
Senyum itu…
Apa yang kaupikirkan?
“Nah, Nagisa-kun. Cepat kembalilah ke kelasmu. Kurasa ada beberapa orang yang menunggumu," Karma berjalan meninggalkan Nagisa.
“Ah, baik!" Setelah melihat Karma melambaikan tangannya dari belakang, Nagisa berbalik dan mulai berlari kecil. Dia kembali memikirkan kalimat Karma.
‘Memangnya kamu sungguh-sangat-perlu-sekali sama buku ini, ya?
‘Begitukah?
‘Baiklah.
‘Akan kuberikan buku ini.
‘Kau tinggal ambil saja dariku.'
‘Akan kuberikan buku ini.
‘Kau tinggal ambil saja dariku.'
…
…
Memangnya kamu sungguh-sangat-perlu-sekali sama buku ini…
…
Akan kuberikan buku ini,
…
Kau tinggal ambil saja dariku.
“Ha—?!" Nagisa refleks menghentikan langkahnya. Dengan kecewa dia menepuk dahinya.
Bodohnya…
Dia… sungguh licik…
Dia kira dari tadi pagi aku ngapain?!
Duh.
Dia… sungguh licik…
Dia kira dari tadi pagi aku ngapain?!
Duh.
“Karma-kun… Dosa apa aku sama kamu…?" Lunglai langkahnya menuju kelas. Mendesah, Nagisa tampak putus asa. Bodo, ah. Sekarang harus menyiapkan permintaan maaf dan alasan untuk Sensei.
Sedangkan Karma, asik memandangi kelas Nagisa dari atas pohon TKP jatuhnya Nagisa. Dengan tenang ia mengunyah dan meniup permen karet blueberry. Kuningnya lekat menatap sosok rambut biru yang baru saja diizinkan duduk setelah beberapa kali meminta maaf. Gelembung permen Karma meletup pelan.
Kamu memang curang.
Sorot mata Karma melembut, senyumnya tulus.
Bisa-bisanya kamu pindah ke sekolah ini.
Dan dengan wajah seperti itu muncul di hadapanku.
Dan dengan wajah seperti itu muncul di hadapanku.
“Dasar curang."
• F • I • N •
Hora minna!
Chapter 3! Bagaimana?
Chapter 3! Bagaimana?
…
…
…
…NYUAAAH MAAPMAAP BECANDAAA HA-KUUN HEEELP— /kicked to the sun/
Berlanjut kok ini berlanjut, percaya, deh. *wink* *dumped*
Seharusnya itu “TBC", tapi typo. /apanya
Dan, yeah, buku Nagisa bakal tersandera sepanjang hayat. *dicakar Nagi*
Berlanjut kok ini berlanjut, percaya, deh. *wink* *dumped*
Seharusnya itu “TBC", tapi typo. /apanya
Dan, yeah, buku Nagisa bakal tersandera sepanjang hayat. *dicakar Nagi*
Mulai membosankan, 'kan? *lay down* *cry alot*
Well, ada yang mau dengar cerita di balik kelas Nagisa? #ngerayu
.* Omake *.
Greek.
Kelas yang tadinya asik menyimak penjelasan grammar Inggris dari Sensei berdada besar yang sedikit nyeleneh itu langsung kompak mengalihkan perhatian ke pintu yang baru saja dibuka. Pelakunya tampak takut-takut, ragu untuk masuk ke kelas. Kepalanya menunduk dan maniknya melirik ke arah lain.
“A-ano… Sensei… sumimasen,"
Guru berambut pirang itu meletakkan kapurnya, memberi kode untuk masuk. Murid itu melangkah patuh. Tiba-tiba ia teringat sesuatu.
‘Bitch-sensei menghukum muridnya dengan ciuman maut!'
Wha— memori dari mana itu?!
“Apa saja yang kaulakukan, Nagisa-kun?" Guru itu menatapnya intens. “Apa kau mulai mencoba bolos?"
“Ti-tidak, Sensei." Nagisa menelan ludah. Jika dihukum, lengkap sudah pengalamannya (baca: penderitaan) menjadi murid baru. Tekanan batin, coy.
“Lalu, apa alasan anak semanis ini untuk izin selama hampir satu period penuh?" Sensei itu mendekatkan wajahnya. Nagisa merasa terancam.
“Maafkan aku, Sensei. Aku tidak bermaksud…" Nagisa mundur beberapa senti, keringat mengalir di pipinya yang kemerahan. “Aku… ah, ya, belum hafal bagian gedung dan… sedikit tersesat,"
Terdengar kikikan beberapa siswa. Nagisa mengabaikannya, terlalu sibuk memikirkan nasib bibirnya yang masih suci. Namun setelah beberapa saat, Sensei itu menegakkan lagi tubuhnya dan mengambil kapurnya.
“Sudahlah. Aku memaafkanmu kali ini. Kembalilah ke bangkumu."
“…Baik, Sensei." Selamat. Ia selamat. Saat ia berbalik badan, sebuah tangan meraih pundaknya. Sebuah bisikan mengalir menggelitik telinganya.
“Hei. Kalau kau menunjukkan wajah itu lagi, aku tidak akan menahan diriku."
“???!!" Nagisa melotot terkejut, refleks berbalik dan memegang telinganya. Tampak Sensei itu menjilat bibirnya nakal. Melangkah mundur dengan waspada yang mulai over, Nagisa kembali duduk, membuka buku Inggrisnya dan menutupi wajahnya yang memerah. Memorinya acak-acakan.
Tadi itu… apa?
Rasanya aku pernah mendengarnya.
Déjà vu, ka?
Rasanya aku pernah mendengarnya.
Déjà vu, ka?
Nagisa merutuki dirinya sendiri.
Sementara di tempat lain,
Sepasang kuning masih terus memperhatikannya.
———
Erm… harus gak, sih, judulnya diganti?
…
…
…ah, maaf. Aku cuma lapar.
…
…
…ah, maaf. Aku cuma lapar.