No Farewell
Storyline © Ha-kun Wasakhowatin
07-Ghost © Ichihara Yukino & Amemiya Yuki
Read the rules, plz. Arigatou.
…
Sekali lagi. Teito kehilangan nafsu makannya. Dia hanya sekedar lewat di kantin, melirik pun tidak. Dia hanya berjalan, matanya kosong menatap lorong seakan jiwanya menguap entah kemana. Dia sendiri, hilang dalam dunianya sendiri. Semua miliknya seolah hilang dibawa seseorang, seseorang yang selalu menemaninya, selalu membelanya, selalu melindunginya, selalu mewarnai jiwa kelabunya.
Seseorang yang seperti kakak baginya, orang yang menerima segala kondisinya, orang yang menceritakan segala sesuatu padanya. Orang yang mengajarkan cara tersenyum, cara bermimpi, dan cara mewujudkannya. Orang yang berusaha menjadi kuat bersamanya.
Rambut pirangnya, mata emasnya, bekas luka di dagunya. Tawa khasnya, ekspresinya. Juga, senyum terakhir di pelukannya. Teito menghilang bersama ingatan sosok Mikage Celestine. Tanpa sadar dia sudah berdiri lama di taman gereja. Sampai seseorang dengan lembut menyapanya.
“Teito-kun?" Uskup berpostur tubuh kecil itu menghampirinya. Tangannya membawa gunting taman, tampak sedang merapikan tanaman seperti kebiasaannya. Teito masih setengah hadir di dunia nyata. Labrador meletakkan guntingnya di meja marmer dan menuntun Teito untuk duduk.
‘Kalau ada yang membebani pikiranmu, kau bisa bercerita padaku.' Teito tidak bereaksi. Labrador menyodorkan segelas air dengan sekuntum bunga di dalamnya. Ia juga menyuguhkan beberapa kue dan permen yang dia buat dari tanaman kesayangannya. Teito masih tidak menyentuhnya.
‘Teito-kun, aku tahu kau mulai jarang makan, tapi kuharap kau memperhatikan dirimu sendiri. Mikage-kun akan sedih jika menyadari kau menyiksa tubuhmu sendiri.'
Teito melirik jamuan kecil itu, tampak tak tertarik. Tapi dia meraih satu kue dan menggigitnya. Labrador tersenyum manis. ‘Makanlah,'
‘Hei, bocah nakal. Melihatmu makan seperti itu, wajar saja kau berpostur anak SD.' Seseorang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Teito. Dari suaranya, Teito sudah merasa geram.
‘Jangan bicara seperti itu!' Teito berputar dan berdiri, sedikit berjingkat menantang sepasang mata azure yang mengintimidasi di depannya. Pemilik mata itu tersenyum mengejek, sedikit merunduk kepada Teito. Perbandingan tubuh mereka sangat kontras. ‘Dasar orang tua! Sombong sekali kau.'
‘Yah, bukan urusanku, sih.' Uskup bernama Frau itu memalingkan wajahnya. Senyumnya mengerling nakal. ‘Yang badannya kecil kan kau, anak nakal.'
‘Aku tidak dengar ucapanmu.' Teito kembali duduk, mengabaikan Frau. Pria tinggi besar itu mengambil tempat di seberang Teito. Labrador juga duduk di sampingnya.
‘Uskup Labrador, terima kasih makanannya. Aku akan kembali ke kamar sekarang.' ucap Teito setelah menenggak habis minumannya. Saat beranjak berdiri, sebuah tangan menarik lengannya.
‘Waa—'
‘Habiskan dulu makananmu, bocah.' Frau menjejalkan sepotong kue ke dalam mulut Teito. ‘Apa perlu kau disuapi oleh kakakmu ini?'
‘…' Teito menggeram, mulutnya penuh oleh kue. Muncul sudut siku-siku kecil di pelipisnya.
‘Ayo, bilang aaah~' Frau mengangkat sesendok lagi. Teito memaksa masuk makanan sebelumnya, menolak terang-terangan sikap dari Frau. ‘Jangan perlakukan aku seperti anak kecil!'
‘Tenanglah, anak nakal. Aku tidak memasukkan racun dalam makananmu.'
‘Hentikan, Frau!
‘Dasar!
‘Sikapmu tadi,' Teito menunduk, suaranya merendah. ‘Mikage pernah melakukannya dulu.'
Semua terdiam. Hening untuk sesaat, sebelum Labrador menyela.
‘Dia benar-benar masih hidup,'
‘Dia benar-benar masih hidup,'
‘Dalam hatimu, dia masih sangat hidup.
‘Mikage-kun melakukan keputusannya dengan yakin. Ia memutuskan untuk melindungimu.
‘Jangan patahkan harapannya, ya.'
‘Mikage-kun melakukan keputusannya dengan yakin. Ia memutuskan untuk melindungimu.
‘Jangan patahkan harapannya, ya.'
Teito menimbang-nimbang jawabannya. Ia masih belum rela sosok itu pergi. Dengan jatuhnya air mata dari manik jade itu, Teito mengangguk. Ia tahu, berapapun air mata ia keluarkan, berapapun lamanya ia berdurja, sekeras apapun ia memanggil, itu semua tidak menolong sama sekali. Mikage takkan kembali. Sikapnya hanya akan membuat Mikage tidak tenang.
Teito memutuskan untuk realistis, melanjutkan amanah dari Mikage. Memastikan dirinya sendiri selamat apapun keadaannya, sesuai keinginan sahabat pirangnya itu.
‘Baik. Aku berjanji.
‘Aku tidak akan mengucapkan selamat tinggal. Karena kutahu,
‘Kita akan berjumpa lagi.'
Sekelebat senyum perpisahan mengawang dalam benaknya sebagai jawaban atas janjinya. Senyum terakhir Mikage untuknya.
‘Sampai jumpa nanti, Mikage.'
*** FIN ***