Sebuah Jidat dan Marker Nganggur
Storyline © HatsuHaru [/u/4626177]
Hetalia © Himaruya Hidekazu
Hetalia © Himaruya Hidekazu
Antonio/Spain, Lovino/Chibi!Romano, Francis/France
(Unsure about the genres but I guess it's...) Family, Humor, ...Fluff? /CMIIW
(Unsure about the genres but I guess it's...) Family, Humor, ...Fluff? /CMIIW
—=—
Sebuah
folder cokelat yang sepertinya resmi terlihat nangkring manis di lengan
Antonio sementara ia berjalan di lorong menuju ruang kerjanya. Dari
jendela, irisnya menangkap seonggok tubuh kecil memunggunginya,
mengemaskan, sungguh, kontras di antara putih seprai yang berkibar
seperti bendera kalah perang. Antonio tertawa dalam hatinya. Ia tahu,
sekalipun dia tidak berhadapan langsung dengan manusia kecil yang sedang
gondok di halaman itu, ia yakin bahwa dirinya sedang dihina-hina
sepenuh jiwa.
Bukan
berarti Antonio dibenci, sih. Dia sudah terbiasa. Semua orang yang tahu
dia juga maklum saja. Tapi, yah, memangnya kapan pernah anak kecil yang
satu itu berhenti merapal sumpah serapah pada semua orang? Kecuali jika
kamu cewek cantik, kosakata ala ABK akan berubah menjadi kamus
pujangga.
“Um, Lovino!"
Punggung
kecil itu terlonjak mendengar namanya diteriakkan. Dengan suara Antonio
pula. Menoleh, pipinya menggembung dan berwarna merah, alisnya bertaut
dan hatinya dongkol. Sepertinya mengerikan, memang, setidaknya begitulah
yang ada dalam pikirannya. Jika kau melihatnya saat ini, mungkin
reaksimu sama seperti Antonio yang berdiri di balik jendela dengan
meremas genggaman sendiri, menahan rasa gemas. Ya. Lovino yang ngambek
itu asli lucu, apalagi ketika kupingmu bermasalah sehingga tidak akan
mendengar kalimat apa yang dilemparkannya ke arahmu. Menggemaskan
sekali.
“Apa, Njing?!"
Sayang mulut Lovi kecil itu cukup busuk.
“Aih, galak...
“Yang tadi pagi, maaf, deh.
“Tapi itu salahmu juga, sih."
“Tapi itu salahmu juga, sih."
Lovino semakin merah. “Sudah dibilang, kasurku basah karena tupai, bego!!!"
“Ha-ha,
iya sajalah," Masih dengan seringai khasnya, Spaniard itu melanjutkan,
“Sebentar lagi aku ada tamu, kau bisa buatkan minum? Teh atau apalah.
Boleh, ya? Sekalian camilannya,"
Lovino bergeming tak merespon. Tapi dia mendengarkan.
“Aku
akan mengerjakan sesuatu dulu di ruanganku, nanti jika tamunya sudah
datang tolong beritahu aku, ya." Sambil melambaikan folder di tangannya,
Antonio beranjak pergi. Mata hijau Lovino tajam mengekor punggung
pemilik rumah hingga tak tampak lagi, lalu ia menendang kerikil tak
bersalah di dekatnya.
“Kampret-Tonio! Tak usah ngerepotin orang sambil nyengir begitu, dasar jelek!"
Sementara
mulutnya merutuk tak henti-henti, Lovino menghantamkan kaki menuju
dapur dan melaksanakan tugasnya. Dia menata kue-kue di atas piring,
menyiapkan tea set, juga merebus air dalam ceret
almini. Setelah uap air bersiul nakal, Lovi mematikan pemanas dan dengan
sangat, sangat, sangat berhati-hati dia menuang air panas ke penyaring
yang telah setengah penuh oleh daun teh kering. Sepertinya Dewi Fortuna
tengah mengasihaninya, sehingga adegan ini tidak menimbulkan kericuhan
apapun. Dapur bersih. Tehnya sukses. Melegakan.
Oh, dia lupa. Seharusnya dia juga menyediakan gula di tea set-nya. Yap, seharusnya ada jar kecil berisi gula di sana, tapi, mana?
Lovino
menggeledah lemari suplai satu per satu. Tidak ketemu. Di antara rak
rempah-rempah pun tak ada. Setelah frustasi mencari di seluruh bagian
dapur yang dapat dicapai badan kecilnya, dia memutuskan untuk bertanya
pada tuan rumah saja. Seharusnya ia tahu, setidaknya ia akan membantu
Lovino kecil yang kesusahan.
“Spain, sialan, gulanya di mana?"
Tanpa
mengetuk, telapak kecil itu memutar gagang pintu dan daun pintu berayun
terbuka. Tampaklah olehnya sosok yang dicari tengah pulas terlentang di
atas sofa. Di atas meja kecil di dekatnya terdapat banyak dokumen
berserakan, bolpoin-bolpoin, dan... mengejutkan, ada gula. Mengapa ada
di sini? Hanya Tuhan yang tahu. Dan Antonio, pastinya.
“Sebenarnya si bodoh ini sedang mengerjakan apa?"
Mengendap-endap,
Lovino mendekati meja seraya berdoa pada Dewa-Dewi siapapun di atas
sana agar ia dihindarkan dari segala kehebohan yang ringan maupun yang
menimbulkan chaos. Matanya awas melirik sesekali pada Antonio
yang tenang. Entah kenapa hati Lovino kecil merasa agak gatal. Ingin
rasanya melakukan sesuatu pada sosok yang lepas penjagaan seperti ini.
Lengan yang tadinya terjulur untuk meraih gula, berhenti, dan merubah
haluan pada marker di sampingnya.
Detik pertama, Lovino menggenggam marker dengan kedua tangannya.
Detik kedua, telapak tangan melambai di depan wajah tertidur itu.
Detik keempat, kedua tangan kembali mengatup dan ia menunggu.
Detik ketujuh, setelah dirasa mantap bahwa Spaniard itu tidak akan bangun, tutup marker pun terbuka.
Detik kesembilan, marker itu telah rampung menari di atas jidat mulus dan meninggalkan jejak tinta yang jelas.
Detik kesepuluh, Lovino mengembalikan marker pada tempatnya, mengambil gula, dan meninggalkan ruangan. Misi selesai.
Selepas
Lovi menghilang menuju dapur, seseorang masuk ke ruang kerja tersebut
dengan wajah penuh selidik. Senyum miring tersungging mencemooh.
“Aku tahu kau tidak tidur,"
Antonio tersentak. Ketahuan. Dengan malas ia bangkit dari posisinya, tertawa garing meminta pemakluman lawan bicara.
“A-ah, ha-ha, sudah lama kau datang?" Ujarnya mengalihkan isu. “Aku tidak dengar bel pintu..."
“Memangnya
harus, ya, aku menekan bel dan menunggu peliharaan kecilmu itu
membukakan pintu?" Tamu itu mengibaskan rambut pirangnya ke belakang,
wajahnya suntuk. “Terlalu formal untukku. Lagipula, kapan terakhir aku
main kesini dengan membunyikan bel pintu terlebih dahulu?"
“Yah,
memang. Kau dan Gilbert memang selalu menerobos rumah orang tanpa salam
dengan benar, lalu tiba-tiba sudah ada dalam ruangan menghardik tuan
rumah yang sedang tidur." Antonio menggeleng sarkas, “Aku merasa malu
padamu, Francis."
Sang tamu mengerling mesum. “Apa kau tidak ingin kulihat saat tidur, hmm?"
“Dasar cabul. Kau benar-benar ingin diciduk aparat rupanya."
“Omong-omong,
Antonio, apa yang sedang coba kaulakukan? Berpura-pura tidur, menipu
anak kecil. Kualat kau sama mulutnya." Francis terkekeh. Antonio
mengelus dahinya.
“Tidak
ada, aku hanya beristirahat sebentar dari kertas-kertas ini dan dia
masuk begitu saja mencari gula." Manik hijau melirik ke atas, berusaha
menangkap sesuatu. “Siapa sangka Lovino mencoreti dahiku,"
Menyibak poninya, Antonio menghadap Francis, hopeless. “Hei, Francis, bisa bacakan ini? Dia menulis apa di dahiku?"
Francis
menatapnya sesaat, lalu serta-merta menampar jidat yang terekspos liar.
“Kampret, ngeselin! Enak banget lu pelihara Romano! Aku juga mau! Aku
akan minta sekarang juga!"
Dengan
sebaris dialog itu Francis melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan
Antonio yang meringis dengan jidat memar. “Kenapa, sih?! Memangnya
Lovino nulis apaan?"
Di
depan dapur, Francis yang iri bertatap muka dengan Lovino yang
terkejut. Anak kecil itu sudah hampir membawa baki penuh suguhan ketika
tanpa aba Francis menyerbunya, membuat Lovino terlonjak dan
menjerit-jerit. “Hyaaah ngapain, sih, sompret—lepasin gue, Njing!"
“Aaah
aku juga ingin punya Italia..." Francis terus memeluk Lovino meski
terus dimaki-maki. Lovino meronta layaknya kucing gila. “Oi lepasin,
cuk! Tehnya hampir tumpah, dasar bego!"
Francis
melepaskan pelukannya dan menunjuk dahinya sendiri. “Katakan, Lovino.
Apa kau sayang aku juga? Dan menuliskannya di dahiku suatu hari nanti?"
“A—" Manik olive melebar, terkejut, tak percaya. “L-L-L-Lu ngomong apa, sih, bangsat?!"
“Heuheu...
Kamu ketahuan, lho." Senyum lebar nan licik tersungging di wajah pria
Perancis itu, menyulut Lovino yang jantungnya terpacu deg-deg-plas.
“Kamu yang mencoreti dahi Antonio, 'kan?"
Romano membatu, matang di tempat.
“Sudah, mengakulah. Itu ulahmu, bukan? Nah. Dahiku juga dong,"
“CHIGIII!!!"
Terperanjat
Francis mendengar amukan Lovi kecil. Ia tertawa gemas, menunduk
mendekatkan wajahnya ke wajah Romano. “Ayolah, tinggal tulis “J'aime" saja, lho."
Lovino mengadu ubun-ubunnya yang sekeras cadas ke dahi pria Perancis itu. “Najis!"
“Augh... Itu sama sekali gak imut, Lovi."
“Biar!" Lovino membuang muka. “A-Aku gak mau kalau bukan Spain! Aku juga ogah belajar bahasamu!"
“Jangan pilih kasih begitu, dong." Francis pura-pura sedih. “Cuma sayang ke Antonio, ya..."
“A-Aku gak bilang aku sayang Antonio, bego!" Lovino mencari alasan. “A-Lagipula, kenapa kau tiba-tiba ada di sini, kampret?!"
Menghela napas, Francis sabar. “Aku sedang ada urusan dengan Spain!
“Kenapa?
Mau tahu? Cemburu?" Seringai nakal muncul di wajah Francis tatkala
melihat mata Lovi membulat, terkejut. “Jadi... Kamu tamunya si
Bego-Tonio?"
Francis mengangguk mengiyakan. Lovino bergegas kembali menuju tea set. “Lovino, apa yang kaulakukan?"
Beringas, anak kecil itu menyambar, “Kalau tahu tamunya kamu, lebih baik gulanya kuganti dengan micin!"
—=—
Sekembalinya
Francis ke ruang kerja, dia mendapati Antonio tengah sibuk memelototi
cermin, mencoba memecahkan frasa apa yang pernah tertulis di dahinya,
sebelum hilang terhapus meninggalkan noda hitam tinta marker. “Apa yang kauusahakan sekarang?"
Antonio,
meski menyadari tamunya sudah kembali, tetap sibuk dengan cerminnya.
“Ini salahmu, menampar dahiku sekeras itu. Sekarang, lihat! Tulisannya
terhapus!"
“Kau
betul-betul dicintai Italia Selatan, ya." Francis menghela napas,
berucap iri, “Sementara aku, dibenci luar dalam secara terang-terangan."
Antonio menurunkan cerminnya, irisnya menangkap tonjolan seksi yang hadir di jidat temannya. Tampak baru. “Dari mana kau?"
Kaki
tegap si Flamboyan itu mendekati sofa dan duduk di seberang tuan rumah,
tersenyum. “Sudah, bahas saja masalah kita. Aku tidak mau kena marah
untuk yang kedua kali dalam sehari ini."
Mengangguk, Antonio mengumpulkan berkas dan menyerahkannya. “Apa kau perlu es batu? Itu sepertinya menyakitkan."
Antonio menunjuk dahinya sendiri, mengisyaratkan. Lawan bicaranya tertawa. “Tidak perlu! Ini bukti bahwa dia punya rasa padaku."
“MANA
ADA?!" Terdengar sahutan keras dari arah pintu. Lovino kecil datang
membawa baki makanan dan minuman. Tidak ikhlas, kaki kecilnya melangkah
keras-keras ke meja diskusi, meletakkan suguhan setengah hati, lalu
pergi. Sesaat matanya melirik jidat Antonio, matanya tanpa sengaja
berkontak dengan milik Antonio, kemudian ia menggembungkan pipi dan
membuang muka. “Hmph!"
Lovino berbalik lalu progress meninggalkan ruangan, ketika tampak olehnya sang Perancis tersenyum kaku. Lovino makin gusar. “Mati saja kamu, curut!"
Ruangan senyap hingga tubuh mungil itu menghilang di balik pintu yang menutup.
“Mati katanya," Francis mendesah pasrah, “Ya. Begitulah. Ha-ha,"
Tak
paham, Antonio mengangguk saja. Francis mencondongkan tubuhnya ke
depan, seolah ingin membocorkan rahasia. “Oh, Tonio, dengarkan. Maafkan
aku, tapi...
“Apapun itu, nanti jangan minum tehnya.
“Itu... Tidak sehat."
—= END =—