WARNING, GREETING.

THIS ISN'T REALLY HAPPENING. YOU'RE DREAMING. PLEASE, WAKE UP. PLEASE. WE NEED YOU NOW. EVERYTHING IS COMING TO AN END. PLEASE WAKE UP. THERE ISN'T MUCH TIME LEFT.

911 Operator Warning You to Stay Safe

Sering jadi bahan guyonan di kantorku bahwa aku yang pernah mendapat panggilan paling aneh, dan itu memang benar. Salah satu yang menarik yaitu aku mendapat telepon dari seorang pria mabuk yang meminta polisi datang dan mempermasalahkan tentang kebisingan di pestanya sendiri.
Meski beberapa panggilan bisa jadi sangat aneh, mereka biasanya cukup jinak. Aku merasa cukup beruntung karena aku tidak punya banyak kasus yang mengerikan maupun yang menyedihkan untuk diceritakan dari pengalaman menjadi operator 911 selama bertahun-tahun. Jika kau mencari cerita semacam itu, aku bisa menunjukkan padamu cerita milik beberapa kolegaku karena sayangnya, di sini tidak kekurangan hal seperti itu di industri ini.


Panggilan yang cukup melekat dalam pikiranku yaitu yang kualami sekitar setahun atau dua tahun yang lalu. Aku sejujurnya bisa menganggap itu kejadian paling menakutkan yang pernah kualami selama karirku di sini, dan hal itu akan melekat padaku selamanya.

Petang terasa berjalan pelan pada hari itu. Aku tahu itu terdengar cukup tidak sensitif, tapi jika kau tidak mengambil panggilan, pekerjaan ini bisa jadi cukup membosankan. Aku diam di sini menggantikan jadwal petang temanku, dan tidak membayangkan bahwa hal ini akan jadi lebih menarik. Aku tengah menghitung menit sampai jadwalku berakhir ketika tiba-tiba sebuah panggilan masuk dalam jaringanku. Aku berlari dan segera memasang headset-ku sambil mengucapkan naskah wajib.

“911, apa darurat Anda?” Aku bertanya.

“Kurasa seseorang ada di rumahku,” Suaranya sepertinya seorang gadis kecil. Hatiku anjlok. Panggilan dari anak-anak adalah yang terburuk.

Kami dilatih untuk mendapat informasi dari penelepon sebanyak mungkin. Ini akan memudahkan jika kita mengerti situasinya dan juga memudahkan untuk memutuskan pelayanan darurat seperti apa yang harus kita utus.

“Siapa namamu, sayang?” Aku menjaga suaraku untuk tetap tenang dan jelas. Tidak perlu membuat mereka semakin takut daripada ketakutan yang mereka sedang rasakan saat ini.

“Elizabeth,” Ucapnya pelan. Kurasa dia sedang menangis.

“Itu nama yang indah. Aku Amelia,” Meski aku tidak menunjukkannya, aku mulai merasa gugup. “Ini cukup penting. Bisa kamu ceritakan apa yang sedang terjadi?”

Sambungannya hening untuk beberapa saat, tapi kemudian Elizabeth mulai berbicara, “Kurasa seseorang sedang di rumahku.”

“Kemana orang tuamu?” Tanyaku.

“Mereka tidak dirumah. Aku tidak yakin kemana mereka sekarang.”

Aku menjadi agak marah mendengar hal ini. Orang tua macam apa yang meninggalkan anak perempuan kecil selarut ini? “Apa ada orang lain di situ?”

“Yeah, kurasa mereka mencariku,” mulai Elizabeth, tapi suaranya tiba-tiba berhenti di kata terakhir. Kalau tidak mendengar suara napasnya yang tertahan dan ketakutan, aku akan berpikir bahwa dia, atau siapapun di sana, memutus sambungan. “Mereka menyebut namaku.” Gadis itu benar-benar menangis sekarang.

“Dimana kamu sekarang?”

Aku mendengar pintu tertutup. “Di lemari orang tuaku,” Dia berbicara agak keras sekarang, mungkin berpikir kalau penyusup itu tidak akan mendengarnya dari sana. Kuharap memang benar begitu. Aku senang dia tahu cara bersembunyi. Banyak anak yang membeku diam di situasi berbahaya seperti ini, apalagi jika orang tua atau saudara lebih tua tidak ada di dekatnya.

Aku menanyakan alamatnya, yang dia berikan padaku, tapi demi privasi aku hanya akan bilang kalau rumah Elizabeth terletak cukup dekat dengan daerah rumahku. Dan itu tidak jauh dari kantor polisi, yang mana sangat membantu.

“Elizabeth, fokus saja pada suaraku. Aku ingin kau mencoba dan santai. Aku sedang mengirim polisi ke rumahmu sekarang, dan mereka akan datang sekitar lima menit lagi. Kamu bisa bertahan sampai mereka tiba?”

Meski biasanya aku mencoba untuk menanyakan bagaimana ciri-ciri penyusupnya, aku selalu waspada ketika anak-anak menghubungi 911. Aku lebih memilih mengirim orang dan ternyata hanya peringatan palsu daripada ada yang mengancam keselamatan mereka.
Elizabeth tidak menjawab pertanyaanku, dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari yang bisa kuatasi. Ketika dia menjawab, itu hanya satu kata.

“Dengar.” Aku mendengar teleponnya bergemerisik ketika dia menjauhkannya dari telinganya dan memegangnya di depannya.

Awalnya, aku tidak mendengar apapun, tapi saat aku fokus pada suara latar, aku menyadari ada banyak sekali bisikan. Aku tidak bisa menyebut apa yang mereka ucapkan, tapi itu terdengar jelas kalau tidak berasal dari satu orang. Kuharap polisi sampai tepat waktu. Sebanyak apapun aku membantu orang-orang dengan pekerjaanku dan sebanyak apapun jiwa yang telah kuselamatkan, ini selalu membuatku frustasi bahwa tidak ada yang bisa kulakukan sendiri selain menunggu dan berbicara.

Suara Elizabeth menjadi bisikan di sela senggukan, “Dia ke sini! Tolong!”

“Polisi hampir tiba. Aku ingin kamu tetap diam jadi dia tidak langsung menghampirimu. Kamu akan baik-baik saja, sayang, aku janji.”

Dia sepertinya agak sedikit tenang.

Semuanya hening untuk sekarang, kecuali bisikan-bisikan latar, yang semakin jelas sekarang. Aku masih tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi aku yakin itu berasal dari beberapa orang. Aku bisa menyimpulkan bahwa ada lebih dari tiga suara berbeda.

Ketika aku mendengar derit pintu terbuka dari telepon, jantungku terlonjak. Elizabeth berteriak, dan aku tahu penyusup telah menemukannya. Aku ikut merasakan ketakutannya, dan depresi mengharap seseorang akan segera ke sana menolongnya.

“Kamu tidak apa-apa? Aku ingin kau memberitahuku apa yang terjadi.” Aku mencoba, dan gagal, untuk membuat suaraku tidak bergetar. Aku tidak bisa membiarkan dia tahu kalau aku ketakutan.

“Ada seorang pria,” bisik Elizabeth. “Dia punya kaki yang sangat panjang dan senyum yang sangat lebar.” Imajinasiku seketika muncul di hadapanku. Aku menggambarkan seorang gadis kecil ini di dalam lemari sedang seorang pria yang tingginya mustahil berdiri menutupi di depannya. Aku mendengar dentuman lain di sisi lain rumah dan seseorang meneriakkan “Polisi". Syukur Tuhan.

Aku bisa mendengar Elizabeth menangis saat bisikan itu semakin jelas. Aku masih tidak paham kenapa dia hanya melihat satu orang. Seharusnya bahkan ada lebih dari empat!

“Dia tidak menyentuh lantai.” Sambungannya terputus. Aku kelabakan mencoba tersambung kembali, tapi tidak peduli berapa kali kucoba, aku hanya menemui keheningan di ujung lain.

Aku akan menutup ini dengan pesan bagi orang tua yang membaca ini: Mohon, mohon jangan tinggalkan anak kalian sendirian di rumah. Aku tidak mendengar kabar apapun tentang Elizabeth atau keluarganya semenjak kejadian itu.

Para polisi hanya menemukan teleponnya.

Intip Sekalian!

Hari Pertama Sekolah

Mad Father