WARNING, GREETING.

THIS ISN'T REALLY HAPPENING. YOU'RE DREAMING. PLEASE, WAKE UP. PLEASE. WE NEED YOU NOW. EVERYTHING IS COMING TO AN END. PLEASE WAKE UP. THERE ISN'T MUCH TIME LEFT.

Agreement

Fanfiction © Hatsu Haru (id: 4626177)
Hetalia © Hidekaz Himaruya


*. Prussia (Gilbert Beilschmidt), Hungary (Elizabeta Héderváry), Mr. X (guess him).
*. Crime, horror, gore, tragedy... idk. CMIIW please.
*. R15+
*. Don't Like, Don't Read

———

Aku membuka mataku.

Dread.

Semua yang kurasakan hanyalah ketakutan. Ruanganku gelap, dan udaranya dingin. Suara dari jalan raya terdekat membuatku semakin terjaga dan menjauhkanku dari rasa kantuk.

Dread.

Perasaan itu mengikutiku saat aku mendorong tubuhku bangkit dari kasur dan berjalan untuk menutup jendela. Sepi. Tapi tidak tenang. Dengingan di telingaku semakin keras ketika semua hal sedang tenang. Sebuah ledakanlah penyebabnya. Wanita itu tengah berdiri di antara aku dan cafe. 

Banyak sekali darah.

Berpikir tentang yang lainnya. Pikirkan tentang hal lainnya. Gambar-gambar berkedip dalam pikiranku. Sangat banyak darah.

Bagaimana bisa seseorang kehilangan banyak anggota tubuh sampai seperti itu?
“Halo, Gilbert.”

Dread.

Jantungku berdebum. Aku berbalik untuk menghadap sumber suara. Udaranya terasa beku menerpa kulit lembabku yang bercucur keringat.

“Ini waktunya untuk perjanjian kita.”

Aku berdiri di sini, menatap pria yang sepertinya berumur pertengahan. Rambut coklat gelapnya mulai berubah keabuan.

Bagaimanapun aku dapat melihatnya jelas, meski seluruh penjuru ruangan tertutup bayangan kegelapan. Dia memakai kemeja lengan panjang berkancing dipadu dengan jeans berpotongan formal.

“Masihkah kau menyalahkan diri sendiri, Gilbert?”

Aku mulai bicara, menanyakan siapa dirinya, apa yang dia lakukan di sini. Pengelihatan lain terlintas dalam benakku.

“Kau mulai ingat. Bagus.”

Aku tahu dia. Aku telah menduga pria ini.

Dread.

“Apa kau berharap dengan persetujuan kita, Gilbert?”

Gambaran dari wanita itu mulai berkobar dalam kepalaku. Dia berbalik padaku. Setengah dari wajahnya tak dapat dikenali. Potongan otot daging yang kehitaman terpencar darinya dimana tubuhnya tercabik oleh besi dan kaca.

“Gilbert, kalau kau tidak menjawab, maka aku akan pergi.”

“Aku bisa membantumu melupakannya. Kau akan terbangun di pagi hari dan tidak ingat apa-apa. Dengingan dalam telingamu juga akan menghilang.”

Jantungku berdebam. Aku mulai merasa mual.

“Masihkah kita punya kesepakatan, Gilbert?”

Pikiranku tak mau bekerja sama. Semua yang dapat kulihat adalah apa yang tertinggal di wajah wanita itu. Kehidupan mengalir lepas dari kedua manik hijaunya. Darah pekat melumasi jari tanganku saat kucoba menangkap tubuhnya. Aku memeluk Elizabeta. Dia sudah pergi.

Semuanya untuk dilupakan.

Aku mengangguk.

“Bagus. Kau akan terbangun tanpa ingatan tentangnya, persetujuan kita, maupun rasa sakitnya.”
Aku mengangguk lagi. Sebuah ingatan. Pertukaran dari memori ke rasa sakit. Semua untuk dilupakan.

Dread.

Pria itu perlahan melepas kancing lengannya, dan mulai menggulungnya sampai siku. Dia menunduk dan membuka tas kulit.

Dread.

Dia melepas sebuah scalpel.

Dread.

Ketakutan merayapi seluruh tubuhku, menyebar dari perutku. Persetujuan. Dalam duka aku sama sekali tak paham. Kucoba untuk bergerak. Aku tidak bisa. Pria itu berjalan ke arahku dengan pisau bedahnya.

Seakan membaca batinku ia berkata, “Sudah terlambat untuk kembali sekarang, Gilbert. Kau selalu bisa berkata tidak saat aku kembali besok. Tapi, aku yakin kau tak seperti itu." Bibirnya mengukir seringai.

Pain.

Intip Sekalian!

Hari Pertama Sekolah

Mad Father