WARNING, GREETING.

THIS ISN'T REALLY HAPPENING. YOU'RE DREAMING. PLEASE, WAKE UP. PLEASE. WE NEED YOU NOW. EVERYTHING IS COMING TO AN END. PLEASE WAKE UP. THERE ISN'T MUCH TIME LEFT.

Tangan

Sesuatu tak tampak itu...

Check the rule, plz. Arigatou.



Aku mendengar salah satu rumor tentang kejadian yang dialami sebuah keluarga di rumah mereka, yang hanya berjarak beberapa blok dari rumah baruku, baru kutempati beberapa minggu lalu.

Rumor mengatakan, kedua anak kecil keluarga itu selalu menangis tiap malam. Mereka bilang ada tangan di dinding kamar mereka. Tangan-tangan itu menembus tembok, menjalar pelan-pelan menuju mereka tiap malam. That's freak them out.

Aku tertantang untuk membuktikannya sendiri. Kupikir mengunjungi rumah tetangga bukan hal yang salah. Jadi hari ini aku berniat mendatangi rumah itu.

Rumah itu seperti bangunan lama yang sedikit direnovasi. Semua tampak normal dan bagus. Kedatanganku disambut baik oleh seorang ibu muda. Dia bercerita banyak tentang rumor itu—setelah kutanyakan bagaimana. Kedua anak laki-lakinya sudah SD, dan mereka selalu merengek untuk tidur bersama orang tua mereka dengan alasan yang sama. Bahwa di dinding sisi belakang kamar mereka ditumbuhi tangan-tangan pucat yang selalu berusaha meraih mereka.

Aku ingin melihatnya, dan meminta izin untuk ke kamar itu. Wanita itu membolehkan dan menyuruh salah satu dari anaknya—saat itu mereka sedang bermain game konsol—untuk menunjukkan jalan. Anak itu terlihat sangat membenci ruangan itu, ekspresinya sangat cepat berubah. Dengan ekspresi ingin melarikan diri, dia menuntunku perlahan naik ke lantai atas.

Sampai di depan pintu, dia hanya berdiri diam. Aku tahu situasinya, jadi aku membuka pintu sendiri setelah dia mundur beberapa langkah. Di balik pintu itu, tampak sebuah kamar yang cukup luas untuk ditempati dua bersaudara itu. Semua barang terjajar rapi dan bersih, kecuali dinding seberang pintu. Disana tidak terlihat satupun barang, seakan diberi zona batas, sejauh satu depa.

Aku masuk dan tidak merasakan apa-apa, mengambil duduk di tepi ranjang. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, entah kenapa cahaya matahari dari jendela tampak bias mendung. Ruangan ini agak sedikit, kelabu.

Aku menatap anak kecil itu masih membatu di ambang pintu, wajahnya pucat pasi ketakutan. Aku mengajaknya masuk, dia melangkah patah-patah. Matanya lekat memandangi dinding di belakangku. Ekspresinya, matanya memerah, ia sangat menahan tangisnya.

‘Apa dinding yang itu?' Aku berbisik. Dia mengangguk pelan. Muncul jeda sejenak, aku memperhatikan wajahnya. Matanya tidak lepas memandangi dinding itu.

‘Saat ini juga... ada di sana, 'kan?' Dia mengangguk cepat lalu melesat keluar dari kamar itu, meninggalkanku sendirian.

Aku mengamati dinding itu, mencoba mendekat. Hanya tampak seperti dinding biasa. Aku memang tidak punya indera keenam, jadi kurasa wajar aku tidak melihatnya. Aku mencoba menyentuh dinding itu. Dingin. Cukup aneh di tengah musim panas ini. Dinding ini seperti selalu terguyur hujan—dingin dan lembab.

Aku segera mundur dan menjaga jarak. Cukup berbahaya karena aku tidak bisa melihatnya, aku tidak akan tahu apa yang akan dilakukan tangan-tangan itu. Akupun turun dan meminta izin undur diri. Yang kutahu, apapun itu yang tinggal di dalam dinding, mereka tidak sedikitpun punya niat baik.

Intip Sekalian!

Hari Pertama Sekolah

Mad Father