WARNING, GREETING.

THIS ISN'T REALLY HAPPENING. YOU'RE DREAMING. PLEASE, WAKE UP. PLEASE. WE NEED YOU NOW. EVERYTHING IS COMING TO AN END. PLEASE WAKE UP. THERE ISN'T MUCH TIME LEFT.

Masih Ada, Masih di Sini

Storyline © Ha-chan Wasakhowatin
Read the rule, plz. Arigatou.


Kau tidak tahu apa yang kaupikirkan sekarang. Bukan mati rasa, tapi bimbang. Kau hanya berusaha mengikuti kata hatimu dan menjaga perasaanmu, melakukan yang kaurasa terbaik untuk semua pihak.

Kau yang biasanya tak acuh dengan sekitarmu, sedikit berubah saat orang itu mulai bercakap denganmu. Laki-laki manis berkulit tan itu menyapamu, mengaku sebagai teman sekelasmu. Dia bilang namanya. Dan dia lebih tinggi darimu—kau gadis jangkung yang sedikit lebih tinggi dari rata-rata seumuranmu.

Dia ramah dan easy going, cukup pandai bercanda dan memiliki minat yang sama denganmu. Kau merasa diterima, kau mulai terbuka. Kau merasa dia menarik. Kau berusaha membuatnya tertarik.

Dia sangat dekat denganmu hingga beredar gosip tentang kedekatan kalian. Tapi kau hanya diam, berkata bahwa gosip hanya gosip. Omong kosong. Tapi kau tidak bisa menyangkal tentang rasa senang dalam dirimu, meski sedikit dan samar—setidaknya kau pernah membayangkan itu menjadi nyata meski hanya sekali.

Gosip mulai berubah bersama berubahnya ajaran semester baru. Dia punya pacar baru, berita yang beredar sekarang. Kau juga tahu, tentu saja. Semua orang mengetahuinya.

Kau tersenyum, di muka dan di hati. Tapi itu berbeda sama sekali. Seperti permen favoritmu, manis di luar dengan sempurna menutupi asam di pusatnya. Kau merasa pedih, fakta bahwa pasangannya bukan dirimu sedikit mengores batinmu.

Yea, dia bukan dirimu. Gadis kelas lainlah yang menjadi pasangannya. Kau sedikit terguncang, tapi tidak lebih dari itu. Entah kenapa kau tidak keberatan dengan keputusan sahabat baikmu itu. Kau hanya bermasalah dengan dirimu sendiri. Kau tidak cukup berpengalaman dalam mengendalikan perasaanmu.

Hatimu ingin menangis, menampakkan satu sisi rapuh dirimu. Tapi otak tak acuhmu terlalu tegas untuk hal kecil seperti itu. Ia menentang terang-terangan, memaksamu untuk bersikap normal. Hati yang dikomando otak pun menurut, mengabaikan rasa perih yang hanya sedikit. Sedikit, sedikit, sedikit, sedikit. Sedikit bertumpuk menjadi bukit. Kau memaki diri sendiri, menyesal karena terus menahan rasa sakit itu, berusaha terbiasa dan menikmatinya,

Seakan kau seorang masokis.

Intip Sekalian!

Hari Pertama Sekolah

Mad Father