WARNING, GREETING.

THIS ISN'T REALLY HAPPENING. YOU'RE DREAMING. PLEASE, WAKE UP. PLEASE. WE NEED YOU NOW. EVERYTHING IS COMING TO AN END. PLEASE WAKE UP. THERE ISN'T MUCH TIME LEFT.

Akankah Kita Pergi Ke Kuil?

Sesuatu terjadi padanya setiap melihat kuil itu...

Read the rule, plz. Arigatou.


Aku, sahabatku, dan sepupuku sedang main bersama, dan kami memutuskan untuk pergi ke kuil yang berjarak 3 blok dari rumahku karena bangunan itu sangat tua, saking tuanya sampai papan penunjuk arahnya kehilangan huruf-hurufnya, dan ada rumor kalau di sana berhantu.

Kami setuju untuk berangkat, dan kami berhenti saat sampai di halaman depan. Sahabatku tiba-tiba terdiam dan menatap lurus pada jendela. Aku bukan yang paling pemberani dari semua anak, tapi akulah yang paling semangat dengan hal ini, jadi aku berjalan ke pintu depan. Aku mendadak merasa takut dan merinding, tapi aku terus berjalan menuju pintu depan. Aku tidak ingat apa yang sedang kupikirkan saat aku mencoba membukanya dan pintunya terkunci, atau mungkin karena aku merasa takut, tapi yang kutahu aku tidak bisa mencapai ruangan di balik pintu.

Kami mencoba menuju halaman parkir tua di belakang. Kami berjalan kira-kira lima kaki untuk mencapai pintu belakang. Aku mencoba untuk membuka pintu, tapi aku melihat sebuah kunci dial elektronik. Mencoba membuat suasana menyenangkan, dengan iseng aku berjalan ke pintu dan mengetuknya. Dengan kecepatan cahaya, muncul suatu bayangan, sosok manusia yang lebih hitam dari kegelapan datang menuju pintu. DENGAN KECEPATAN CAHAYA. Refleks, kami semua ketakutan, jadi aku dan sahabatku berlari menuruni bukit menjauhi kuil itu, tidak sedikitpun menoleh sampai kami berada di bawah. Ketika kami mampu menoleh ke belakang, kami sadar kalau sepupuku masih berdiri di lahan parkir, membeku ketakutan, baru saja menuruni bukit saat kami berdua meneriakkan namanya.

‘Kenapa kau tidak langsung turun?' cecarku.

‘Kau menakuti kami,' sahabatku menyambung.

‘Se-sesuatu memegang tanganku!'

Kami terlalu takut untuk bertanya kenapa itu tidak bisa membuatnya lari, tapi terserah. Kami semua akhirnya sampai di rumahku. Saudaraku pulang ke rumahnya, dan setelah itu sahabatku juga pulang. Aku dan sepupuku saling berkirim pesan.

‘Bagaimana keadaanmu?' tanyaku.

Dia membalas, ‘Ugh… tanganku terasa sakit. Juga, entah dari mana dan sejak kapan ada bekas cakaran berbentuk ‘S' di sana!'

Sedangkan sahabatku, kau tidak ingat apa-apa.

TAPI TUNGGU! MASIH ADA LAGI!

Ini saat aku bertanya padamu apa yang kau ingat dan sahabatku bersumpah padaku dia tak ingat apapun. Dia merasa itu menarik, dan beberapa saat setelahnya, dia memutuskan bahwa kita harus kembali ke sana. Aku sering mendengar cerita hantu dan semacamnya yang seperti ini, dan kurasa tidak akan  ada hal serius yang terjadi, akupun setuju dengannya. Jadi kita berangkat lagi ke kuil. Tapi saat kuil itu terlihat olehmu, sahabatku mendadak menjadi sangat diam, namun kami tetap berjalan. Kuil agak jauh dari ujung jalan, dan ketika kami sampai di ujung jalan itu, sahabatku berhenti. Dia menatapku, dengan setengah senyuman yang paling mengerikan, ‘Apa kau melihat itu?'

‘Kau bicara apa? Apa yang kau lihat?' tapi dia mengabaikanku, lalu berjalan menduluiku ke kuil.

Dia berhenti lagi di halaman depan.

Dia melihat ke arah jendela yang sama dengan waktu itu. ‘Apa kau melihat itu?'

Untuk kesekian kalinya kujawab tidak. ‘Memangnya apa yang kau lihat?'

Kali ini sahabatku menjawab, ‘Bayangan. Bagaimana mungkin kau tidak melihatnya?'

Ada dua jendela disana. ‘Yang mana yang kaulihat?'

Awalnya dia tidak menjawab, jadi aku menanyakannya lagi. ‘Jendela yang mana?'

‘Keduanya.'

‘Eh?'

Muncul jeda sebentar sebelum sahabatku menyambung, ‘Yang sebelah kanan,'

Saat ini aku sangat penasaran dengan bangunan ini, jadi aku membawa senter. Aku menyalakannya dan mengarahkannya ke jendela. Sahabatku menurunkan tanganku, tetap melihat ke jendela. Aku kembali menyorot jendela. Dia menurunkan tanganku lagi. Aku bertanya, ‘Kenapa kau melakukan itu terus?'

Dia, tanpa ekspresi, menjawab, ‘Dia tidak suka cahaya.'

Pada saat itu juga aku putuskan kita harus pergi dari sana. Aku meraih tangannya dan menariknya pergi, tapi manusia 100-pound ini mendadak sulit untuk digerakkan. Aku memegangmu dengan kedua tangan, akhirnya berhasil membuatnya bergerak. Kami sedang setengah perjalanan menuju rumahku saat tiba-tiba kami menggelinding jatuh di trotoar, dan itu membuat lututku terluka. Ketika kami masih terbaring di trotoar, sahabatku mengeluarkan tawa paling mengerikan yang pernah kudengar. Lalu kami bangkit, dan aku tetap membawanya pulang ke rumah. Diwaktu kami berjalan pulang, kau terus berusaha melepasan diri dariku dan terus mengunci pandangan pada kuil. Hanya saat kita akhirnya sampai di ujung jalan dia bertanya, ‘Tidakkah kita pergi ke kuil?'

‘Ya. Sudah.'

‘Serius? Kau yakin?'

‘Um.'

‘Aku… aku tak ingat apapun.'

Lagi.

Ketika kami sampai di rumahku, aku menjelaskan semuanya, dan sahabatku bersumpah dia tidak ingat apa-apa, tak terluka ketika jatuh di tanah. Lalu, karena dia ingin memberitahu orang lain, dia ingin aku menceritakan semuanya lagi sementara sahabatku merekamnya dari ponsel, tapi entah kenapa itu tidak mau merekam. Kami mencoba merekamnya dari komputerku. Aku masih belum mendengar rekamannya, karena aku merasa tidak peduli dengan apa yang telah terjadi.
Setelah itu, sahabatku pulang dan tidak ada kabarmu lagi sejak saat itu.

Kejadian lama, ya. Dan kau, aku yakin,

Kau masih tidak ingat kejadian ini, 'kan?

Intip Sekalian!

Hari Pertama Sekolah

Mad Father